Monday, April 28, 2008

Evelyn(19)_Michelle_(23)

Bu, kami baru posting wawancaranya tgl 28 April, karena kami tidak tahu kalau harus di posting di blog sepuluh tiga.
Aduh, bu, maaf sekali ya bu. Sebelum tanggal 26 April sebenarnya kami sudah meng-email ke sepuluhtigasanur0708@gmail.com. Duh, maaf sekali ya bu, kami benar-benar tidak tahu.

Evelyn(19)_Michelle_(23)_Tukang_sapu_kompleks_pulomas

Seorang ibu bernama Sopia, ibu berusia 37 tahun yang bekerja sebagai buruh cuci dan tukang sapu di komplek pulomas yang digaji oleh bapak RT. Ia berasal dari Wonosobo, dulu kesini masih belum bersuami. Lalu dia ditawarkan dan disuruh orang tuanya untuk kerja ke kota agar mendapat pekerjaan yang layak. Dia tadinya tidak mau. “Wong saya ga tau kota Jakarta kayak apa, kalo saya diculik bagaimana? Kan brabe jadinya. Tapi saya nurut aja. Saya pasrah pas sampe di kota.”, ujarnya.

Ketika ia keluar dari stasiun kota, ia bertemu oleh teman dekat nya dulu ketika masih duduk di SMP. Lalu ia menceritakan, kalau dia bingung mau cari kerja apa di Jakarta, katanya susah cari kerja di Jakarta kota metropolitan ini. Temannya mengenalkannya pada seseorang yang membutuhkan tenaga kerja di komplek perumahan pulomas tapi gajinya kecil yang diberikan per hari dan bila dijumlahkan selama sebulan kira-kira sebesar Rp 155.500,-.

Awalnya ia sungkan menawarkan pekerjaan itu, takut Sopia tersinggung. Pekerjaan itu adalah menjadi tukang sapu. Tapi ternyata Sopia menerimanya dengan senang hati, justru ia berterima kasih kepada temannya itu, Lastri. Di tempat itu ia bertemu dengan jodohnya bernama Mulyono. Mereka menikah dan sekarang sudah dikaruniai 6 anak. Ongkos biaya hidup mereka berdua saja sudah pas-pasan dengan penghasilan Sopia dan suaminya. Ditambah lagi dengan 6 anak nya. Wah, sungguh tidak terbayangkan.

Akhirnya mereka berdua membuka usaha baru dengan modal pas-pasan. Suaminya merangkap menjadi tukang sayur. Dan iya membeli ember, papan cuci, detergen, dan kain putih yang ditulisi cat hitam “TERIMA JASA CUCI BAJU” sebagai modal awal usahanya. Banyak anak kos yang menggunakan jasa tersebut. Karena murah, jadi banyak peminatnya, penghasilannya pun lumayan bertambah. Anak nya pun akhirnya dapat disekolahkan di sekolah islam yang cukup murah. Ia mensyukuri dengan apa yang telah ia punya sekarang ini, dan atas semua jalan yang telah ditunjukkan olah Allah Yang Maha Kuasa sehingga ia dapat menjalani hidup ini dengan baik, mampunyai keluarga yang harmonis, saling menyayangi, dan saling mendukung.




Refleksi pribadi :
Oleh : Michelle Aryani X3/ 23 :


Saya pikir, Bu Sopia adalah seorang wanita yang hebat dan patut dikagumi. Mengapa? Karena Bu Sopia, walaupun mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu, ia tetap menerima pekerjaan tersebut dengan senang hati dan tidak mengeluh, bahkan sampai bertemu pasangan hidupnya. Ia sangat rendah hati. Saya rasa ada beberapa hal yang patut saya sendiri contoh dan teladani, yaitu pertama, keteguhan hatinya yang menerima keadaan hidupnya apa adanya dan ia tidak mengeluh tetapi tetap menjalaninya dengan senang hati. Kedua, adalah bahwa ia mensyukuri apa yang ia punya sekarang ini dan tidak menuntut lebih dari apa yang ia punyai.
Bu Sopia tidak memandang rendah pekerjaannya sendiri walaupun ia mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu. Ia bahkan melakukannya dengan senang hati. Ini membuat saya sadar dengan perilaku saya. Bu Sopia bisa membuka usaha cuci baju bersama suaminya, walaupun modalnya pas-pasan. Suaminya sebagai tukang sayur, dan dengan pekerjaan-pekerjaan itu mereka bisa menghidupi keenam anaknya. Sungguh hebat! Saya benar-benar bersyukur bisa mendapat tugas ini. Karena dengan mewawancarai Bu Sopia, saya menjadi tahu dan sadar, bahwa saya juga harus menerima diri saya sendiri apa adanya.
Saya benar-benar kagum dengan Bu Sopia, karena saya sendiri ataupun kalian juga, pasti pernah berpikir dan iri pada apa yang dipunyai oleh orang lain, sedangkan kita tidak mempunyainya. Kemudian, kalian maupun saya sendiri, pasti pernah punya pikiran bahwa hidup saya ini tidak adil, mengapa saya begini, sedangkan teman saya begitu, sehingga saya menyalahkan Tuhan, karena ia tidak adil. Seharusnya, saya harus sadar akan hal itu, bahwa saya tidak boleh menyalahkan Tuhan, dan menerima apa adanya, seperti kata alkitab, apabila kita menerima keadaan dan kehidupan kita ala sekadarnya, maka kita akan mendapat lebih dari yang kita kira, sedangkan bila kita tidak mau menerima diri kita ataupun kehidupan kita apa adanya, maka kita tidak akan memperoleh lebih dari yang kita mau.




Oleh : Maria Evelyn X3 / 19

Setelah saya mewawancara Ibu Sopia. Saya sangat salut padanya. Karena ia sangat menghargai karunia yang telah Tuhan limpahkan kepadanya. Ia sangat ramah dan mensyukuri anugerah Tuhan yang ada pada dirinya sekarang ini. Suami yang baik, anak-anak yang menyayangi, menghormati, dan patuh padanya, dan hati nya yang tulus mencintai orang-orang disekitarnya. Walaupun kondisi ekonomi nya pas-pasan, tetapi ia tetap bersemangat dalam mencari nafkah. Ibu dari enam anak ini mau bekerja keras dan pantang menyerah demi kesejahteraan kelurga serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia, suami, dan anak-anaknya. Sopia tidak memandang rendah pekerjaan yang gaji nya kecil, seperti tukang sapu. Tetapi pekerjaan itu merupakan berkah baginya karena menyelamatkan dirinya dari kebingungan dan ketidakpastian sejarah hidup nya di kota metropolitan ini. Banyak orang terjerumus melakukan pekerjaan yang tidak halal, seperti : menjadi PSK, menjadi penipu, pencuri atau lain sebagainya. Tidak dengan dirinya. Ia tidak menghiraukan pekerjaan apa yang akan ia kerjakan, asalkan itu tidak menyimpang dari ajaran agama dan dapat membantunya untuk memenuhi kebutuhan yang harus ia penuhi. Sekarang ini sudah jarang orang yang hatinya baik seperti beliau. Ia tahu terimakasih kepada teman yang menawarkan pekerjaan kepadanya. Betapa hebat ibu ini, Super mama tidak hanya ada di televisi, melainkan ini adalah super mama keluarga. Betapa beruntung nya saya dapat bercakap-cakap orang seperti beliau. Orang yang kaya akan kasih sayang. Dan dapat meyakinkan saya bahwa memang benar-benar ada orang yang kerja keras seperti bu Sopia. Untung saja saya diberikan tugas ini. Dengan mengerjakan tugas ini, selain saya menjadi lebih membuka diri, saya jadi lebih dapat memahami dan lebih mensyukuri keadaan saya sekarang ini. Dimana orang tua saya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya dapat bersekolah di sekolah yang bagus. Kadang kala saya merasa iri pada orang yang menurut saya perfect. Kok bisa ya ada orang yang sudah pintar, berkecukupan, cantik, manis, tapi kok tetap rendah hati? Namun rasa iri itu tidak membuat saya jadi ingin membuatnya tidak baik lagi. Tetapi dia dapat dijadikan sebagai contoh konkret dan panutan bagi diri saya. Dari ibu Sopia, saya juga dapat memetik pelajaran bahwa kita tidak boleh sok tahu akan segala sesuatu di depan kita. Tapi harus mau mendengarkan anjuran orang tua, karena mungkin itulah jalan hidup kita untuk dapat lebih baik lagi dari kondisi sekarang ini. Karena, who knows? Semua takdir dan nasib Tuhan yang mengatur, namun kita sebagai umat manusia tidak boleh pasrah begitu saja. Kita harus mengusahakan takdir tersebut dapat menjadi sesuatu yang bermakna dan dapat menjadi pengalaman menarik yang dapat menjadi teladan dan kisah menarik bagi orang lain, seperti : anak-anak, serta cucu kita di masa datang.

Saturday, April 26, 2008

REFLEKSI TITA X3-30

REFLEKSI TITA X3/30

Ketika itu saya dan ursula mewawancarai seorang pekerja di toko fokopi yang juga menjual peralatan tulis. Dulu, saat saya pertama kalinya datang ke toko itu, saya merasa mas Ratno melakukan kegiatan ini hanya untuk mengisi waktu luang. Saya akrab dengannya, sama sekali tidak terpikirkan bahwa ternyata kegiatan ini bukan hanya untuk mengisi waktu luang melainkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Kemarin mas Ratno bercerita, hasil penjualannya cukup untuk hidup dirinya sndiri, tapi tidak bagi keluarganya. Saya merasakan adanya kesedihan di dalam suaranya. Berbeda sekali dengan saya yang bisa hidup sepuasnya berkat orangtua saya. Sejak mengobrol dengannya saya seringkali berpikir dua kali ketika sedang membeli sesuatu. Wawncara dengan mas Ratno memberi saya sesuatu yang berbeda. Bahwa di dalam hidup ini ada banyak orang yang hidup berkecukupan, bahkan berlebihan. Tapi ada banyak juga yang kekurangan. Oleh sebab itu saya tidak boleh bersikap seenaknya, tetapi harus memperhatian orang lain yang berada ‘dibawah’ saya.

Hasil wawancara ada di dalam file milik ursula, x3-31

Maaf karena tidak ada foto ketika ia sedang bekerja karena pada saat itu, tidak ada orang yang datang ke toko.

HASIL WAWANCARA TITA-URSULA X3-30-31

HASIL WAWANCARA DENGAN TUKANG FOTOKOPI

Q : Pertanyaan

MR : Mas Ratno

Q : Mas darimana? Pindah ke Jakarta kapan?

MR : Dari Jawa Tengah… pindah ke Jakarta sekitar 2002.

Q : Selama ini penghasilannya cukup nggak?

MR : Sebenernya kurang kalau buat keluarga, tapi cukup-cukup aja sih kalau buat saya sendiri…

Q : Kenapa milih pekerjaan ini?

MR : Ya… biar bisa bantu keluarga. Cari penghasilan. Terus juga nggak ada kerjaan lain.

Q : Udah berapa lama kerja disini?

MR : Baru-baru saja… dulu saya sih kerjanya di Rawamangun, bukan disini. Kayaknya sih sekitar setahun (wawancara dilakukan di daerah PuloGadung).

Q : Nggak mau nyari kerjaan lain?

MR : Kalau ada ya mau… Sayangnya nggak ada.

Q : Kerjaan sampingan?

MR : Nggak ada. Kalau ada sih saya mau, lumayan buat nambah penghasilan, buat bantuin keluarga.

Q : Oh… ya udah. Makasih ya mas.

MR : Ya..

tugas religiositas

I. Tanya jawab

*Saya mewawancari seorang tukang koran(bukan agency koran) yang biasa menjual koran di Terminal Trans Halim, Cililitan Jakarta Timur. Berikut hasil petikan wawancara saya dengan Bapak yang sering dipanggil oleh Pak Tua ini.

Sebenarnya, nama asli Bapak siapa?

Nama asli saya sudah lupa.. Ya saya hanya tahu bahwa nama saya adalah Pak Tua

Bapak sudah berapa tahun bekerja?

Sekitar 15 tahun saya disini.

Bapak berasal dari mana?

Medan. Datang ke jakarta sama adik bapak, tapi sudah meninggal. Jadi sekarang sendiri. Ya, namanya hidup sendiri, ya begitulah. Ga ada apa-apa.

Usia Bapak sekarang?

Di keluarga saya, tidak tahu yang namanya umur. Ibu saya sudah meninggal, dan saya 9 bersaudara, semuanya laki-laki. Tetapi, sekarang yang masih hidup hanya saya dan kakak nomor 8. Jadi ya bagaimana ya, sudah tua sekali saya. Yang saya ingat hanya itu.

Sekarang bapak tinggal dimana?

Di kelapa gadingIII saya tinggal sama keponakan.

Bapak berangkat jam berapa?

sebagai seorang Islam ya saya berangkat sebelum subuh supaya bisa sholat di masjid. Lalu setelah itu saya mengambil koran yang mau dijual di tukang koran yang lebih besar. Kalau sudah dibeli orang, ya saya balik lagi mengambil koran untuk persediaan. Jadi sebenarnya pekerjaan saya hanya menunggu pembeli. Tanpa saya punya sendiri barang koran itu.

Berapa penghasilan bapak sehari?

Kalau ditanya penghasilan, jujur saya malu ya. Tidak sampai belasan ribu rupiah. Untuk modal, saya tidak punya. Bahkan sering hutang. Orang-orang kadang suka mengambil koran tapi tidak bayar. Mereka sering tidak peduli. Memang sih saya berdagang tiap hari, tapi pendapatan saya sering merosot. Bukannya saya tidak mau bialng ya dek, tapi saya malu. Kadanag ada auang, kadang tidak ada sama sekali.

Kadang saya mengambil korang dulu, kalau sudah laku baru bayar. Bagaimana yang untuk tidak laku? Ya berarrti saya tidak dapat untung. Makanya saya suka menghutang untuk membeli koran yang mau dijual lagi.

Suka duka manjadi tukang koran?

Saya pernah diejek,dihina, diremehkan, bahkan diusir. Bukannya saya menjelek-jelekkan ya,. Tapi itu betul-betul saya alami. Pertamanya mungkin saya sakit hati, tapi lama-lama saya sudah biasa dan tidak terganggu.

Bapak sering ke masjid ya ?

Ya, Supaya tidak buang2 waktu sebagai seorang islam.

Bagaimana jika Bapak makan?

Ya kadang-kadang saya dibantu keponakan saya yang di kelapa Gading III itu. Karena suaminya bekerja. Biasaya saya bawa nasi bungkus dari rumah. Lalu saya bawa dan disisakan sampai makan siang.

Apakah bapak merasa senang atau puas bekerja sebagai tukang koran?

Senang? Ya beginilah.Kalau ditanya puas, apanya yang puas? Kalau Tuhan memberikan, saya percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik. Rejeki juga semua di tangan Tuhan, Tuhan yang mengatur. Saya sih percaya itu saja ya dek. Terserah orang-orang mau bilang saya apa, tapi saya biarkan saja. Saya tahu ada Tuhan yang mengatur semuanya

Baik pak. Terimakasih banyak

Ya sama-sama dek.

2. REFLEKSI

Dari hasil wawancara saya dengan Pak Tua tadi, saya mendapatkan hal positif yang berguna bagi hidup saya. Hal ini membuat saya tersadar. Bagaimanakah sikap saya selama ini terhadap semua yang sudah saya miliki? Apakah saya mensyukurinya? Jujur, kadang saya kurang mensyukuri, bahkan lupa mensyukuri semua hikmat yang sudah terjadi kepada saya. Saya hanya mensyukuri hal-hal yang baik yang terjadi dengan saya. Selebihnya, jika saya mendapat kesulitan, barulah saya merengek-rengek kepada Tuhan dan minta diberikan keselamatan. Setelah mendapat keselamatan, saya bersyukur hanya sebentar. Dan kembali ke rutinitas biasa yang super sibuk dan keberadaan Tuhan hampir terlupakan.

Tapi,dari kehidupan Pak Tua ini saya melihat, bahwa segala sesuatu yang kita perbuat, yang terjadi dengan kita adalah rencana Tuhan. Tuhan telah mengatur semuanya. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk diri saya. Jika itu yang terpahit untuk saya, maka itulah yang terindah untuk Tuhan. Tuhan tahu, Tuhan melihat, dan Tuhan bekerja dengan kuasa-Nya. Manusia memang harus merasakan rasa sakit dari pikulan salib yang berat, tapi apda akhirnya nanti dia pasti akan merasakan kehidupan yang kekal, indah yang dinantikan semua orang. Seperti Pak tua tadi, meskipun dia harus hidup dengan pendapatan yang bisa dibilang tidak layak, tapi dia selalu percaya bahwa itulah rencana Tuhan. “Semua sudah diatur oleh Tuhan”, begitu katanya. Dengan berkata seperti itu, maka dia menyerahkan seluruhnya kepada Tuhan.

Selain itu, di setiap masalah kita, seberat apapun salib yang harus kita jalani, kita harus mengingat Tuhan ada dimanapun dan kapanpun. Seperti Pak Tua, yang selalu menyempatkan untuk sholat 5 waktu di masjid. Dengan seperti itu, saya tersadar, bahwa dengan makin dekat diri kita dengan Tuhan beban yang kita hadapi akan semakin ringan. Seperti sabda Yesus, “Barangsiapa yang berbeban berat, jikalau datang kepadaku, maka bebannya akan diringankan” Setiap orang harus menyerahkan semua perasaan, semua pengalaman, semua yang ada pada dirinya kepada Tuhan. Sehingga apapun yang akan ia lakukan, maka ia lakukan itu dengan sepenuh hatinya, dengan segenap jiwanya meskipun harus dengan rasa sakit yang sangat dalam. Meskipun Pak Tua harus dihina, direndahkan, bahkan diusir, tapi dia tetap bertahan bahkan berhasil untuk menghilangkan perasaan sakit hati dengan tetap terus berdoa kepada Tuhan.

Meskipun Pak Tua adalah seorang yang miskin, tapi dia tetap menyerahkan apa yang dia punya kepada Tuhan. Dia tetap hidup dalam kesederhanaannya sebagian orang kecil. Hal ini menyadarkan saya, sesungguhnya kita semua adalah kecil dimata Tuhan. Tidak ada yang kedudukannya tinggi di mata Tuhan. Kita tidak punya apa-apa dibandingkan dengan kuasa Tuhan yang sangat hebat. Maka dari itu, kita perlu menyerahkan semua yang terdapat dalam diri kita kepada Tuhan, karena semua yang terjadi dengan kita adalah rencana indah-Nya.

Mulai saat ini saya akan berusaha untuk tetap meluangkan waktu saya untuk Tuhan. Karena, Tuhan sang pengatur, sang pencipta segalanya, sang penguasa segalaNya. Tak ada sesuatu yang mustahil bagiNya.

Laurensia Irma Saraswati

X3-14

tugas religiositas

I. Tanya jawab

*Saya mewawancari seorang tukang koran(bukan agency koran) yang biasa menjual koran di Terminal Trans Halim, Cililitan Jakarta Timur. Berikut hasil petikan wawancara saya dengan Bapak yang sering dipanggil oleh Pak Tua ini.

Sebenarnya, nama asli Bapak siapa?

Nama asli saya sudah lupa.. Ya saya hanya tahu bahwa nama saya adalah Pak Tua

Bapak sudah berapa tahun bekerja?

Sekitar 15 tahun saya disini.

Bapak berasal dari mana?

Medan. Datang ke jakarta sama adik bapak, tapi sudah meninggal. Jadi sekarang sendiri. Ya, namanya hidup sendiri, ya begitulah. Ga ada apa-apa.

Usia Bapak sekarang?

Di keluarga saya, tidak tahu yang namanya umur. Ibu saya sudah meninggal, dan saya 9 bersaudara, semuanya laki-laki. Tetapi, sekarang yang masih hidup hanya saya dan kakak nomor 8. Jadi ya bagaimana ya, sudah tua sekali saya. Yang saya ingat hanya itu.

Sekarang bapak tinggal dimana?

Di kelapa gadingIII saya tinggal sama keponakan.

Bapak berangkat jam berapa?

sebagai seorang Islam ya saya berangkat sebelum subuh supaya bisa sholat di masjid. Lalu setelah itu saya mengambil koran yang mau dijual di tukang koran yang lebih besar. Kalau sudah dibeli orang, ya saya balik lagi mengambil koran untuk persediaan. Jadi sebenarnya pekerjaan saya hanya menunggu pembeli. Tanpa saya punya sendiri barang koran itu.

Berapa penghasilan bapak sehari?

Kalau ditanya penghasilan, jujur saya malu ya. Tidak sampai belasan ribu rupiah. Untuk modal, saya tidak punya. Bahkan sering hutang. Orang-orang kadang suka mengambil koran tapi tidak bayar. Mereka sering tidak peduli. Memang sih saya berdagang tiap hari, tapi pendapatan saya sering merosot. Bukannya saya tidak mau bialng ya dek, tapi saya malu. Kadanag ada auang, kadang tidak ada sama sekali.

Kadang saya mengambil korang dulu, kalau sudah laku baru bayar. Bagaimana yang untuk tidak laku? Ya berarrti saya tidak dapat untung. Makanya saya suka menghutang untuk membeli koran yang mau dijual lagi.

Suka duka manjadi tukang koran?

Saya pernah diejek,dihina, diremehkan, bahkan diusir. Bukannya saya menjelek-jelekkan ya,. Tapi itu betul-betul saya alami. Pertamanya mungkin saya sakit hati, tapi lama-lama saya sudah biasa dan tidak terganggu.

Bapak sering ke masjid ya ?

Ya, Supaya tidak buang2 waktu sebagai seorang islam.

Bagaimana jika Bapak makan?

Ya kadang-kadang saya dibantu keponakan saya yang di kelapa Gading III itu. Karena suaminya bekerja. Biasaya saya bawa nasi bungkus dari rumah. Lalu saya bawa dan disisakan sampai makan siang.

Apakah bapak merasa senang atau puas bekerja sebagai tukang koran?

Senang? Ya beginilah.Kalau ditanya puas, apanya yang puas? Kalau Tuhan memberikan, saya percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik. Rejeki juga semua di tangan Tuhan, Tuhan yang mengatur. Saya sih percaya itu saja ya dek. Terserah orang-orang mau bilang saya apa, tapi saya biarkan saja. Saya tahu ada Tuhan yang mengatur semuanya

Baik pak. Terimakasih banyak

Ya sama-sama dek.

2. REFLEKSI

Dari hasil wawancara saya dengan Pak Tua tadi, saya mendapatkan hal positif yang berguna bagi hidup saya. Hal ini membuat saya tersadar. Bagaimanakah sikap saya selama ini terhadap semua yang sudah saya miliki? Apakah saya mensyukurinya? Jujur, kadang saya kurang mensyukuri, bahkan lupa mensyukuri semua hikmat yang sudah terjadi kepada saya. Saya hanya mensyukuri hal-hal yang baik yang terjadi dengan saya. Selebihnya, jika saya mendapat kesulitan, barulah saya merengek-rengek kepada Tuhan dan minta diberikan keselamatan. Setelah mendapat keselamatan, saya bersyukur hanya sebentar. Dan kembali ke rutinitas biasa yang super sibuk dan keberadaan Tuhan hampir terlupakan.

Tapi,dari kehidupan Pak Tua ini saya melihat, bahwa segala sesuatu yang kita perbuat, yang terjadi dengan kita adalah rencana Tuhan. Tuhan telah mengatur semuanya. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk diri saya. Jika itu yang terpahit untuk saya, maka itulah yang terindah untuk Tuhan. Tuhan tahu, Tuhan melihat, dan Tuhan bekerja dengan kuasa-Nya. Manusia memang harus merasakan rasa sakit dari pikulan salib yang berat, tapi apda akhirnya nanti dia pasti akan merasakan kehidupan yang kekal, indah yang dinantikan semua orang. Seperti Pak tua tadi, meskipun dia harus hidup dengan pendapatan yang bisa dibilang tidak layak, tapi dia selalu percaya bahwa itulah rencana Tuhan. “Semua sudah diatur oleh Tuhan”, begitu katanya. Dengan berkata seperti itu, maka dia menyerahkan seluruhnya kepada Tuhan.

Selain itu, di setiap masalah kita, seberat apapun salib yang harus kita jalani, kita harus mengingat Tuhan ada dimanapun dan kapanpun. Seperti Pak Tua, yang selalu menyempatkan untuk sholat 5 waktu di masjid. Dengan seperti itu, saya tersadar, bahwa dengan makin dekat diri kita dengan Tuhan beban yang kita hadapi akan semakin ringan. Seperti sabda Yesus, “Barangsiapa yang berbeban berat, jikalau datang kepadaku, maka bebannya akan diringankan” Setiap orang harus menyerahkan semua perasaan, semua pengalaman, semua yang ada pada dirinya kepada Tuhan. Sehingga apapun yang akan ia lakukan, maka ia lakukan itu dengan sepenuh hatinya, dengan segenap jiwanya meskipun harus dengan rasa sakit yang sangat dalam. Meskipun Pak Tua harus dihina, direndahkan, bahkan diusir, tapi dia tetap bertahan bahkan berhasil untuk menghilangkan perasaan sakit hati dengan tetap terus berdoa kepada Tuhan.

Meskipun Pak Tua adalah seorang yang miskin, tapi dia tetap menyerahkan apa yang dia punya kepada Tuhan. Dia tetap hidup dalam kesederhanaannya sebagian orang kecil. Hal ini menyadarkan saya, sesungguhnya kita semua adalah kecil dimata Tuhan. Tidak ada yang kedudukannya tinggi di mata Tuhan. Kita tidak punya apa-apa dibandingkan dengan kuasa Tuhan yang sangat hebat. Maka dari itu, kita perlu menyerahkan semua yang terdapat dalam diri kita kepada Tuhan, karena semua yang terjadi dengan kita adalah rencana indah-Nya.

Mulai saat ini saya akan berusaha untuk tetap meluangkan waktu saya untuk Tuhan. Karena, Tuhan sang pengatur, sang pencipta segalanya, sang penguasa segalaNya. Tak ada sesuatu yang mustahil bagiNya.

Laurensia Irma Saraswati

X3-14

Friday, April 25, 2008


Refleksi Pribadi

Wawancara ini adalah tugas religiositas. Pertama yang saya pikirkan adalah malas karena tugas itu merepotkan. Kita harus mencari orang miskin dan mewawancarainya. Tetapi, tugas tetap tugas sehingga saya agak sedikit terpaksa saat ingin melakukannya dengan Githa. Kami memutuskan untuk mewawancara Kamis sore setelah menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan dalam kelompok lainnya. Tadinya kami ingin mewawancarai orang yang jualan makanan keliling di komplek rumah Githa namun karena tidak ada yang datang - datang sedangkan waktu tinggal sedikit karena sebentar lagi kami harus les maka kami memutuskan untuk menggantinya dengan orang lain.


Pertama kami bingung namun atas usul mamanya Githa, kita akan mewawancarai orang yang bekerja sebagai tukang sapu di komplek perumahan Githa. Nama tukang sapu itu adalah Pak Mawardi. Bertemu dengan Pak Mawardi menyadarkan saya akan banyak hal yang mungkin sederhana namun sulit dan sangat jarang saya lakukan selama ini.


Setelah diwawancara, Pak Mawardi menceritakan tentang kehidupannya sebagai tukang sapu. Bagaimana ia diperlakukan dan mengapa ia menjadi tukang sapu dan sebagainya. Hal yang menyebabkan ia menjadi tukang sapu adalah karena ia tidak mengenyam pendidikan sama sekali sehingga bagaimana ia akan mendapat pekerjaan yang pantas. Pak Mawardi yang tadinya pergi ke Jakarta karena disuruh Bapaknya agar mendapat hidup yang lebih baik, namun ia tidak menyadari bahwa pendidikan sangat penting untuk mendapat pekerjaan di Jakarta sehingga harapannya untuk mendapat hidup lebih baik kurang terkabulkan walaupun Pak Mawardi masih dapat bersyukur karena ia masih tetap dapat menghidupi keluarganya. Penghasilannya yang hanya sebesar Rp. 300.000,00 sebulan sebenarnya membuat saya kaget. Dapatkah orang hidup dan masih dapat bersyukur dengan penghasilan seperti itu. Karena menurut saya, setiap orang pasti membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kehidupannya dan barang - barang juga semakin mahal harganya belakangan ini.


Saya sendiri pasti akan menghabiskan lebih dari Rp. 300.000,00 sebulan untuk hidup. Dan saya tidak berusaha untuk mendapatkannya. Sedangkan Pak Mawardi sebagai tukang sapu sudah bekerja amat sangat keras dari pagi hingga malam mungkin namun ia tetap mendapat penghasilan yang pas – pasan. Dan ia juga masih dapat bersyukur. Itulah menurut saya yang hebat. Bersyukur seperti yang saya katakan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal itu amat sangat sulit walaupun kelihatannya sederhana. Karena kita sebagai manusia terus saja ingin mendapat yang lebih untuk diri kita walaupun sebenarnya kita sudah mendapat yang lebih dari cukup untuk hidup kita. Seperti orang - orang kaya sekarang ini. Liburan 3 hari sudah langsung bisa pergi ke Singapure setidaknya atau mungkin lebih. Tetapi mereka tidak peduli dengan orang - orang yang sudah bekerja dengan keras namun tetap saja sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya. Apalagi dengan akan naiknya harga BBM yang tentu akan menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok.


Saya pun termasuk orang yang sangat susah untuk bersyukur. Saya seringkali marah - marah pada mama atau papa saya karena mereka tidak mau membelikan barang yang sangat amat saya inginkan. Dengan saya bertemu Pak Mawardi dan melakukan wawancara ini, membuat saya tersadar bahwa sudah seharusnya saya bersyukur kepada Tuhan dan saya merasa malu pada diri sendiri karena Pak Mawardi yang sudah susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tetap bersyukur namun saya yang hidupnya sebenarnya lebih baik tetapi tetap tidak dapat bersyukur akan karunia Tuhan. Saya ingin dan mau memulai untuk belajar bersyukur akan hidup ini.


Selain itu, dengan adanya wawancara ini, saya baru menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting. Tanpa adanya pendidikan, kita tidak akan bisa mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Seringkali saya akan amat sangat sebal jika ada ulangan banyak atau jika sekolah yang seringkali tidak libur padahal sekolah lain itu sudah libur juga kadang - kadang saya ingin mendapat nilai bagus hanya karena papa dan mama menjanjikan saya akan membelikan sesuatu. Namun sekarang lah saya tersadar bahwa seharusnya saya bersyukur karena saya masih bisa diberi kesempatan untuk mengenyam dan merasakan pendidikan dan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hidup yang layak bila saya berusaha karena banyak orang yang ingin sekolah namun tidak bisa karena orang itu mungkin tidak mempunyai kemampuan ekonomi yang baik dan sebagainya. Seperti anaknya Pak Mawardi yang hanya dapat belajar membaca dan menulis saat kecil namun ia tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya karena pendapatan Pak Marwadi yang pas - pas an.


Saya juga baru menyadari betapa tragis nasib orang - orang miskin di Indonesia ini. Banyak orang - orang miskin di bawah yang teriak akan penderitaan mereka namun tetap saja pemerintah dan orang - orang kaya yang berada di atas tidak peduli dan tetap hidup sesuka ria mereka. Pemerintah tetap mengkorupsi uang yang seharusnya menjadi jatah orang miskin untuk membantu kehidupan mereka yang sudah amat sangat sulit. Saya menjadi amat prihatin dengan keadaan ini di Indonesia.


Selain itu, kita sebagai orang – orang tidak boleh seenaknya merendahkan orang miskin dan merendahkan mereka. Seperti yang terjadi pada Pak Mawardi. Sebenarnya Pak Mawardi sangat berjasa bagi kehidupan kita. Kalau tidak ada Pak Mawardi maka mungkin lingkungan rumah kita sudah amat kotor dan menyebabkan penyakit. Dengan adanya Pak Mawardi maka lingkungan kita bersih. Karena itu kita harus menghargai setiap orang karena orang itu juga merupakan manusia seperti kita dan kita tidak boleh seenaknya merendahkannya seperti itu.





Dibuat oleh : Dea X3-3

Tugas Religiositas



Wawancara Religiositas dengan Pak Mawardi



Siang, kami dari Santa Ursula ingin mewawancara bapak, boleh?
- Boleh

Nama bapak siapa?
- Marwadi

Pak Marwadi punya pekerjaan lain selain menjadi tukang sapu di komplek ini?
- Tidak

Awal mula bapak menjadi tukang sapu?
- Saya awalnya berasal dari Pekalongan, datang ke Jakarta mau jadi kuli atau keja apa saja yang penting bisa hidup. Awalnya saya ke Jakarta, karena banyak teman saya yang lebih enak hidupnya di Jakarta, jadi saya juga ke Jakarta. Pas saya di Jakarta nyari kerja, ternyata di Jakarta itu pendidikan sangat diutamakan, sedangkan saya sekolah saja tidak. Setelah berbulan-bulan tidak kerja, hanya menjadi pengemis di jalanan. Akhirnya saya mendapat pekerjaan seperti sekarang ini.

Bapak sekarang umur berapa?
- Umur saya kira-kira 33 tahun. Saya ke Jakarta umur 16 tahun dusuruh sama bapak.

Pekerjaan bapak di desa apa?
- Saya cuma bantu-bantu bapak di sawah.

Bagaimana kehidupan bapak menjadi tukang sapu?
- Alhamdullilah, sampai sekarang walaupun pas-pasan tapi saya masih bisa makan dan menghidupi istri dan anak saya.

Kalau boleh tahu pendapatan bapak berapa dalam sebulan?
- Kurang lebih 300.000 sebulan.

Kalau boleh tahu, bagaimana sikap orang - orang terhadap bapak?
- Warga sini sih baik sama saya, cuman kalau orang di luar komplek ini kadang-kadang suka merendahkan saya dari tatapan mereka.

Menurut bapak, pemerintah sudah cukup membantu dalam memberi bantuan?
- Belum. Saya tidak merasa mendapat bantuan dari pemerintah.

Ada kemungkinan bapak kembali ke desa?
- Tidak. Karena saya tidak punya siapa-siapa lagi di desa, jadi untuk apa saya ke desa. Lagipula, istri dan anak saya semuanya sudah ada di Jakarta.

Bagaimana dengan keluarga Bapak? Apakah istri Bapak juga mempunyai pekerjaan?
- Ya. Istri saya bekerja sebagai tukang cuci yang pergi dari rumah ke rumah.

Syukurlah kalau gitu ya Pak. Bagaimana dengan anak Bapak ? Apakah mereka bersekolah ?
- Sayangnya tidak. Kami tidak mampu untuk membiayainya. Walaupun kami hanya mempunyai 1 anak dan kami hanya dapat memberikan dia sekolah saat kecil sehingga ia hanya dapat membaca dan menulis. Kami tidak mampu lagi untuk menyekolahkan untuk ke jenjang berikutnya apalagi dengan biaya pendidikan yang mahal.

Apakah Harapan bapak?
- Pemerintah lebih memperhatikan dan membantu kami-kami yang masih kekurangan, supaya bisa hidup lebih baik dari sekarang ini.




Dibuat oleh : Dea x3-3 dan Githa x3-3




Jessica X3-12

Pada hari Jumat kemarin, saya dan Cha-cha teman saya mau melakukan wawancara untuk tugas religiositas. Sasaran kami adalah orang miskin yang memiliki profesi. Lalu kami menemukan seorang ibu-ibu tua yang sedang berjualan di tepat pintu masuk parkiran kantor pos. Ibu-ibu itu berjualan banyak barang seperti sisir, tissue, rokok, dan permen. Ia berjualan dia tas gerobaknya. Lalu kami memutuskan untuk mewawancarai dia. Tetapi kami agak sedikit ketakutan kalau-kalau ibu itu tidak berkenan menjawab pertanyaan kami dan malahan merasa tersinggung kalau kami tanya-tanya. Terlihat dari mukanya ia kelihatan kurang bahagia. Lalu kami memberanikan diri untuk mendekati ibu itu dan ibu itu langsung menerima kami dengan baik. Katanya kemarin juga ada anak yang wawancara dia jadi mungkin saja ada anak santa ursula lainnya yang juga sudah mewawancarai ibu ini. Nama ibu ini adalah ibu Maria Ulfa.

Ibu Maria Ulfa yang memiliki 3 orang anak dan sudah ditinggal suami (meninggal) sudah menekuni profesi ini lama sekali. Namun ia mengaku jualan seperti itu tidak banyak mendapat untung. ketika saya bertanya soal ibu Maria menjawab bahwa ia sangat sedih sekali bila tidak dapat uang. Apalagi kalau anak-anaknya mulai meminta uang sekolah dan dia sedang tidak punya uang. Sungguh menyedihkan sekali. Kalau dibandingkan dengan kita sekarang ini. Saya sendiri saja kalau sudah waktunya bayaran uang sekolah saya cukup memberikam amplopnya pada orang tua saya dan beberapa hari lagi uangnya sudah ada. Namun Ibu Maria kadang kesulitan untuk mendapatkan uang tersebut untuk membayar uang sekolah anaknya.

Profesi ibu Maria ini juga bagi dia kadang-kadang suka tidak balik modal. Ia sering kecewa sekali. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika ada tugas praktek ekonomi tentang berjualan. Kebetulan kelompok kami tidak mendapat untung dan kami sekelompok cukup kecewa dan kesal karena justru rugi besar. Saya bisa membayangkan ibu Maria begitu kecewa sekali kalau tidak untung pada hari itu, kami saja yang praktek berjualan tidak untung sudah kecewa apalagi yang benar-benar berjualan dan tidak dapat untung, tentunya kekecewaanya lebih daripada kami yang hanya sekedar melakukan praktek tugas.

Anaknya ibu Maria yang paling kecil sekarang duduk di kelas 3 SMK. Bagi saya sendiri mungkin Ibu Maria menyekolahkan anaknya tersebut di SMK karena bayaran di SMK jauh lebih murah dibandingkan dengan SMA. Saya merasa saya sangat beruntung sekali karena orang tua saya sanggup menyekolahkan saya ke SMA.

Lalu kalau dilihat-lihat, ibu Maria ini sudah terlihat tua. Entah masih umur berapa tapi raut wajahnya terlihat sekali dia sudah tua. Saya juga berpikir, kalau dibandingkan dengan ibu-ibu zaman sekarang ibu Maria sungguh tidak beruntung sekali. Ibu-ibu zaman sekarang atau orang tua kita sekarang ini, mereka dapat hidup nyaman di rumahnya. Sedangkan ibu Maria harus menghabiskan waktunya hanya berjualan di sana dan tentunya tidak merasa nyaman. Tidak ada AC ataupun tempat duduk yang enak. Sekarang ini kan orang tua kita tentunya pasti bekerja di tempat kerja yang layak (ada AC, fasilitas nyaman) bukan dibawah terik matahari yang panas sambil menunggu orang yang datang untuk membeli. Dan ibu Maria ini sudah tua. Sayang sekali sepertinya dia tidak bisa menghabiskan masa tuanya dengan kegiatan yang ia senangi. Justru ia harus berjualan mau tidak mau kalau tidak dia tidak akan punya penghasilan. Ibu Maria juga mengaku apabila ia sedang sakit, ia tidak bisa mendapatkan pemasukan.

Saya merasa saya sangat beruntung sekali dengan kehidupan saya yang sekarang ini. Saya juga memikirkan tentang anaknya ibu Maria walaupun dia tidak menceritakan semuanya. Pasti mereka juga merasakan hidup yang tidak enak. Saya sendiri orangnya tidak bisa mengelola keuangan dengan baik. Saya suka mempergunakan uang tanpa berpikir terlebih dahulu tau-tau sudah habis dan saya langsung minta ke orang tua saya. Saya bisa memikirkan bagimana anaknya ibu Maria yang kalau memintauang sekolah saja sudah susah apalagi kalau tidak mempergunakan uang jajan sebaik mungkin.

Melalui wawancara ini, saya sudah seharusnya bersyukur akan kehidupan ini. Sering kali saya suka merasa kecewa dan saya masih belum puas dengan kehidupan saya sekarang ini dibandingkan dengan orang lain. Ibu saya sering berpesan agar saya harus bersyukur dan jangan melihat kehidupan di atas kita melainkan lihatlah bahwa dibawah kita masih ada orang-orang yang lebih tidak beruntung daripada kita. Jadi saya seharusnya tidak boleh bersikap tidak puas dengan hidup saya sekarang ini karena sebenarnya mungkin kekurangan yang masih saya alami hanyalah sebagian kecil daripada kekurangan yang orang-orang seperti ibu Maria alami.

Berikut ini hasil wawancara kami:

Tanggal 25 April 2008

Chacha X3/8

Jessica X3/12

Wawancara Ibu Maria Ulfa

T: nama ibu siapa?

J: Maria Ulfa

T: ibu tinggal dimana?

J: Jalan Dr. Wahidin 2 sebelah departemen keuangan

T: ibu asli Jakarta atau dari luar Jakarta?

J: saya asli dari Jawa Timur.

T: bagaimana ibu bisa pindah ke Jakarta?

J: tahun 1975 saya menikah dan ikut suami ke Jakarta, waktu itu saya masih berumur 17 tahun. Suami saya memang asli dari Jakata.

T: apakah ibu sudah berkeluarga?

J: sudahlah neng! Malahan saya sudah punya cucu 2 orang. Anak saya ada 3. Yang paling besar sudah menikah , yang ke-2 ngojek yang ke-3 masih bersekolah di SMK 3. Kemarin baru aja UN.

T: pekerjaan ibu apa?

J: yaa berjualan disini. Jualan rokok, tissue, sisir,….

T: apakah pekerjaan ibu ini tetap dan sudah berapa lama ibu menekuni pekerjaan ini?

J: iya. Saya dari tahun ’75 sudah bekerja seperti ini. Dulu bapak yang kerja ganti-gantian sama saya. Sekarang bapak sudah meninggal. Sekarang saya yang menggantikan pekerjaan bapak.

T: ibu dapat barang untuk jualan ini darimana ya?

J: saya dapat dari hasil membeli sendiri di pasar.

T: ibu senang tidak dengan pekerjaan ini?

J: yaa senang-senang susah. Kalau jualan lagi rame rasanya senang.

T: penghasilan ibu sehari-hari rata-rata berapa?

J: sehari dapat 175 ribu. Itu juga untungnya belum. Paling untungnya Cuma 100 ribu atau 75 ribu. Kalau dulu jualan kartu banyak yang beli pas lagi natal atau lebaran. Tapi sekarang udah gak untung lagi. Sekarang susah pada sms.

T: dengan penghasilan seperti itu, cukup tidak ibu untuk kebutuhan sehari-hari?

J: yaa cukup-cukup engga. Tergantung keadaan.

T: ibu senang tidak dengan keadaan ibu sekarang ini?

J: yaa engga. Sedih. Kalo anak lagi minta uang sekolah gak ada uang sedih rasanya pengen nangis, Tapi mau gimana lagi.

T: dulu lagi ibu kecil kepikiran gak pengen bercita-cita jadi apa?

J: hahaha. Engga

T: ibu juga pernah kepikiran gak untuk ganti usaha?

J: yaa kalau ada modal saya mau punya kios gitu buat jualan.

T: kalau misalnya ada orang yang member ibu uang yang banyak sekali, ibu mau apakan uang itu?

J: yaa untuk modal buat bikin toko.

T: kenapa ibu jualannya disini? Di sekitar sini suka ada penggrebekan yaa bu?

J: iya suka ada. Ibu jualan disini biar gak kena penggrebekan (lokasi ibu ini berjualan tepat di depan pintu parkir kantor pos). kalau jualan di sepanjang jalan bisa diusir sama tamtib. Kalau sudah diusir gerobaknya dihancurkan, barang-barangnya diambilin. Modalnya jadi abis.

T: ada ganti gak bu dari pemerintah?

J: yaa gak ada .

T: kalau ibu misalnya lagi sakit..

J: yaa untungnya sakit ibu gak pernah parah-parah dan jarang. Palingan Cuma masuk angin sembuhnya yaa paling 1-2 harian.

T: ibu percaya gak kalau kehidupan ibu bisa lebih baik daripada sekarang?

J: yaa percaya non.

T: apa usaha ibu untuk memperbaiki usaha ibu?

J: yaa ibu suka berdoa pagi-pagi minta supaya hari ini bisa dapet rezeki.

T: Terima kasih ya,bu atas waktu dan kesediannya.

"Saudara saya pegang pulpen, Saya malah dorong gerobak"






T : selamat siang pak. Boleh kami minta waktunya sebentar untuk wawancara?
J : boleh neng. Untuk tugas sekolah ya?
T : iya pak. Oiya, nama bapak siapa ya? Umur bapak berapa?
J : saya Pak Sirin. Umur saya 42 tahun.
T : Bapak sudah bekerja berapa lama sebagai tukang ketoprak?
J : sudah 28 tahun neng.
T : wah sudah lama sekali ya pak. Kalau boleh tahu, berapa penghasilan bapak dalam 1 hari? Kira-kira mencukupi gak untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk anak-anak dan istri bapak?
J : dalam 1 hari bisa dapat 30-40 piring. Ya.. cukup ga cukup juga ya. Masalahnya kadang-kadang sepi juga sih. Anak dan istri saya tinggalnya di kampung.
T : oh gitu ya pak. Bapak tinggal dimana ya? Jadi tiap bulan bapak balik ke kampung ya?
J : kalau saya tinggal di Pulogadung sama adik saya. Saya pulangnya 2 bulan sekali. Kadang-kadang juga transfer duit buat anak istri di kampung.
T : bapak ada keinginan gak untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang atau ada keinginan gak untuk balik lagi tinggal di kampung?
J : kalau keinginan sih pastinya ada. Kalau saudara-saudara saya sekarang megang pulpen, saya malah dorong gerobak. Ada rasa nyesel juga. Dulu saya kabur sama adik saya dari kampung dan gak kepikiran jadi tukang ketoprak. Kalau keinginan ke kampung sih pengen ya neng. Pengen juga buka usaha di kampung, tapi keadaannya sekarang lagi susah jadi ya susah neng.
T : moga-moga bisa tercapai ya pak. Bagaimana kehidupan sehari-hari bapak selain jualan ketoprak?
J : setiap hari saya jualan ketoprak saja. Tiap hari saya bangun jam 5 pagi untuk menyiapkan dagangan saya.
T : terus sekarang bagaimana perasaan bapak dengan hidup bapak yang sekarang?
J : senang gak senang ya neng. Kadang-kadang nyesel juga dulu kabur dari kampung tapi ya gak apa-apa lah neng.
T : oh gitu ya pak. Kalau begitu terima kasih ya pak atas waktunya.
J : iya neng sama-sama









Anasthasia Amelia
X3-01


Kemiskinan. Itulah sebuah kata yang sedang melanda negara kita, Indonesia. Bukannya kemiskinan berkurang, tapi malah semakin banyak orang yang miskin. Mereka yang jadi korban kemiskinan pastilah tidak menginginkan keadaan itu. Keadaanlah yang memaksa mereka menjadi seperti itu.

Salah satu korban kemiskinan tersebut adalah Pak Sirin, si penjual ketoprak keliling. Menjadi seorang penjual ketoprak bukanlah keinginannya. Ia ingin menjadi seorang yang sukses. Tapi, keadaan ekonomi yang kritis tidak menghendakinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebagai orang yang termasuk kalangan menengah ke bawah, Pak Sirin tidak putus asa. Ia mau berjuang demi kehidupannya sendiri serta keluarganya. Bekerja dari pagi hingga sore, dengan penghasilan yang tidak terlalu banyak, ia berusaha memenuhi kebutuhannya. Statusnya sebagai orang yang kekurangan tidak membuatnya menjadi rendah diri, melainkan membuatnya memiliki semangat untuk berjuang demi hidup yang dianugerahi oleh Tuhan.

Namun, di antara kaum miskin tersebut, banyak juga yang tidak mau berjuang dan berusaha. Mereka hanya mau meminta-minta dari orang lain. Itulah para pengemis. Itu juga yang terkadang membuat saya kesal melihatnya. Padahal, kalau dilihat-lihat, tubuh mereka sehat dan kuat. Dari keadaan fisiknya saja sudah terlihat kalau sebenarnya dia bisa membuka usaha kecil-kecilan. Saya lebih menghargai mereka yang miskin tapi punya usaha, sekecil apapun usahanya. Dengan melihat keadaan dan perjuangan Pak Sirin, saya pun bersyukur kepada Tuhan karena berkat-Nya sehingga saya dapat hidup berkecukupan. Walaupun hidup tidak berkekurangan, tetap tidak boleh malas-malasan. Lihatlah kembali mereka yang berjuang keras demi sesuap nasi. Oleh karena itu, saya pun harus berjuang dalam menghadapi hidup ini. Dengan hidup yang cukup ini, bukan berarti saya tidak perlu peduli kepada mereka kaum miskin. Justru karena hidup yang cukup itulah saya harus peduli kepada mereka. Para kaum miskin sering juga mengalami perendahan martabatnya sebagai manusia. Mereka sering diperlakukan tidak adil dan dianggap remeh oleh orang lain. Padahal, mereka juga manusia, sama seperti kita yang mempunyai martabat dan derajat yang sama.












Anatashya Winda Sutanto
X3/2


Setelah melakukan wawancara dengan Pak Sirin, saya merasa bahwa sebenarnya kita harus bersyukur dengan hidup yang kita miliki sekarang. Dari sosok Pak Sirin, menurut saya ia mengajarkan tentang bagaimana meraih apa yang kita inginkan dan seperti apa kehidupan di luar lingkungan saya. Misalnya saja, Pak Sirin berani kabur ke Jakarta pasti karena ingin menjadi orang yang sukses. Walaupun akhirnya hanya menjadi tukang ketoprak keliling, ia sangat mensyukuri apapun yang ia dapatkan sekarang. Ketika mewawancarai pak Sirin pun, ia sangat menghargai kami. Saya sendiri juga menjadi menghargai Pak Sirin walaupun ia hanya penjual ketoprak. Selain itu Pak Sirin juga akrab dengan murid-murid sekolah yang menjadi langganannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pak Sirin orang yang mudah bergaul dan tidak rendah diri. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada lagi yang namanya diskriminasi terhadap kaum miskin karena mereka juga manusia yang kedudukannya sama di mata Tuhan.











Astrid Maria
X3 - 05



Jujur saja, selama ini saya pernah beberapa kali merasa miskin. Yaah, berhubung HP saya tidak sebagus teman-teman lainnya. Tapi ketika kami mewawancarai Pak Sirin, saya pun mulai terpikir hal lain. Saya memang miskin, tapi miskin cita-cita! Pak Sirin adalah orang yang punya cita-cita tinggi. Walaupun ia berasal dari kampung, tapi ia punya cita-cita tinggi untuk hidup sukses di Jakarta. Berbeda dengan saya yang sampai saat ini masih juga belum memikirkan masa depan, mau jadi apa nanti, mau kerja jadi apa.




Walaupun mungkin cara beliau untuk mengejar cita-cita salah, yaitu kabur dari rumah. Tapi itu semua saya rasa juga disebabkan oleh satu hal, yaitu kemiskinan. Pak Sirin yang berasal dari keluarga yang berkekurangan di kampung, tentu tidak memiliki biaya yang cukup (miskin materi) untuk memperoleh pendidikan yang baik dan mendapatkan pekerjaan yang layak.




Hmm..miskin cita-cita sudah, miskin materi sudah, miskin apa lagi? Oh iya, miskin semangat! Saya senang sekali melihat orang seperti Pak Sirin, yang walaupun miskin secara materi dan pendidikan namun semangatnya untuk bertahan hidup dan memperoleh hidup yang berkecukupan bagi keluarganya sangatlah besar. Tidak seperti banyak orang lain yang jelas-jelas kelihatan sehat dan kuat tapi malas untuk mencari pekerjaan. Mereka malah mencari jalan pintas untuk mencari uang dengan cara mudah, mengemis, meminta-minta. Bahkan banyak yang malah memperkerjakan anak-anak kecil untuk meminta-minta, lalu mereka tinggal menerima hasil.




Setelah kita berputar-putar dengan berbagai macam kemiskinan, mulai dari miskin cita-cita, miskin materi, miskin pendidikan, sampai miskin semangat. Saya pun akhirnya menyimpulkan bahwa memang negara Indonesia kita ini berada di bawah garis kemiskinan, tepatnya kemiskinan dari segala segi : materi dan mental. Namun yang paling memprihatinkan adalah apabila masyarakat kita mulai miskin cinta. Karena hanya dengan cintalah kita dapat saling berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Hanya dengan cinta kita dapat bersyukur kepada Tuhan atas segala karunia yang telah Dia berikan pada kita yang telah berkecukupan dari segi materi.




Apakah saya miskin cinta? Saya rasa belum. Karena saya masih ingin mencoba menghargai dan bersyukur atas segala yang telah saya punyai : keluarga, teman, rumah, sekolah dan TUHAN. Saya masih ingin mencoba untuk lebih peduli dan mencintai orang-orang yang saat ini kondisi secara materinya lebih rendah daripada saya, misalnya pembantu dan supir.




Jadi, miskinkah saya? miskinkah anda? miskinkah mereka? Jawabannya adalah MISKIN kalau saya, anda, dan mereka MISKIN CINTA.
Marilah kita bejuang menjadi orang yang kaya, KAYA AKAN CINTA!

Kemiskinan, Suatu Realita Kehidupan

Kemiskinan memang sudah lama ada di dunia ini. Kemiskinan juga sudah lama menjadi masalah besar bagi negara ini. Masalah yang rasanya semakin mustahil untuk diberantas secara total. Dilihat dari perjalanan waktu, bukannya kita menuju titik terang untuk mengatasi masalah ini, justru semakin hari kemiskinan semakin mengakar ke generasi-generasi mendatang. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan seorang yang dikategorikan miskin, saya bersama teman saya, Paula mewawancarai Bapak Agus. Bapak Agus adalah seorang penjual jajanan di Senayan. Sepanjang hari ia duduk di rerumputan tanpa alas menjaga barang dagangannya dan menunggu pembeli yang datang. Tidak dapat dibayangkan bagaimana ia bertaruh pada cuaca. Jika cerah, tubuhnya akan sepanjang hari terbakar oleh sengatan matahari, dan jika hujan turun mungkin ia akan kebingungan mencari tempat yang aman untuk melindungi barang dagangannya. Pada akhir wawancara, saya dan Paula sebagai tanda terima kasih membeli barang dagangannya. Saat kami mengatakan mau membeli beberapa bungkus kopi instant, terlihat sekali wajahnya menjadi cerah dan dengan semangat melayani kami, walaupun kami tidak membeli dalam jumlah yang banyak.

Setiap kali saya berkaca pada kehidupan orang-orang seperti Bapak Agus, yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah sudahkah saya bersyukur untuk hidup saya sendiri. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang selalu merasa tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Saya pun sebagai manusia juga memiliki sifat itu. Setiap kali saya memandang orang yang saya anggap ‘lebih’, dalam hati saya akan berteriak kepada Tuhan mengapa ia tidak memberikan juga sesuatu yang ‘lebih’ itu kepada saya. Namun jika saya memandang ke bawah, bukannya saya akan merasa berkekurangan, tetapi justru saya merasa sangat berkelimpahan. Sebagai contoh, Bapak Agus hanya untuk menyambung nyawa dari hari ke hari saja harus berjuang dengan keras, sedangkan saya sering tidak menghargai pemberian orangtua. Karena saya memiliki sifat ceroboh, saya tidak menyimpan dan merawat dengan baik pemberian itu dan bila dibutuhkan lagi akhirnya saya hanya bisa meminta orangtua saya membelikan barang itu lagi. Setelah tahu perjuangan Bapak Agus, saya menjadi sadar bahwa kebiasaan saya itu sama saja seperti menyobek-nyobek uang. Saya juga menjadi sadar ternyata selama ini saya tidak peka akan keadaan orang-orang miskin di luar sana.

Melihat orang-orang miskin yang ada di negeri ini, saya seperti melihat korban-korban ketidakadilan akibat perbuatan beberapa pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti melakukan praktek korupsi yang semakin menggila saja dari hari ke hari. Aset negara yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat miskin, justru jatuh ke tangan orang-orang yang serakah. Hal semacam ini yang membuat masalah kemiskinan semakin sulit untuk diberantas dan bahkan menjadikan masalah ini menjadi semakin kompleks. Percuma saja banyak orang berpindidikan di Indonesia, tetapi tidak pernah mau mendengarkan hati nuraninya. Bukannya menyelamatkan negara malah justru semakin menjerumuskan negara. Saya pikir banyak orang di zaman sekarang yang harus belajar kembali untuk mendengarkan hati nuraninya.

Saya berharap semoga saja di masa mendatang kualitas hidup orang-orang seperti Bapak Agus menjadi semakin baik dan hidupnya semakin terjamin. Terakhir, saya berpesan janganlah memandang rendah mereka. Karena melakukan hal demikian sama saja memperlihatkan diri kita lebih miskin dari mereka. Memang bukan miskin secara harta, tetapi miskin hati.

Rani
X3 / 32

Tukang Fotokopi

sore itu cukup cerah, hal itu yang saya amati ketika duduk di beranda depan tempat fotokopi.
Saya dan Tita, mewawancarai Mas Ratno, si pemilik tukang fotokopi, yang tampak agak canggung.

Yang membuat saya kagum adalah keberaniannya untuk mengubah nasib.
dari Jawa Tengah, ia pindah ke Jakarta untuk mencari uang. butuh keberanian untuk hal seperti itu.
dan kegigihannya untuk membuka usaha sendiri, sekalipun kecil-kecilan saja.

Saya belajar untuk lebih berani dan gigih dengan melihat perjuangan Mas Ratno.
sekian...

Ursula
x3/31

Refleksi Quamilla X3-26

Pada tanggal 25 April 2008 saya dan Nicola mewawancarai seorang tukang sayur bernama Pak Sigun. Bapak ini sangat baik dan ramah. Ia bercerita mengenai kehidupannya yang meskipun miskin tetapi tetapi tetap bersyukur. Mendengar cerita bapak ini saya benar-benar terkejut. Sungguh jarang sekali ada orang seperti bapak ini mau menerima keadaan pada saat susuh ia bersyukur pada saat senang ia juga bersyukur. Jika ia menjadi orang kaya ia akan beramal kepada orang-orang yang miskin seperti dirinya sekarang. Dalam wawancara ini saya dapat mengambil beberapa hal yang sangat menarik yaitu sebagai manusia kita harus terus bersyukur pada saat keadaan apa pun. Susah,Senang,Duka,Gembira semuanya harus kita syukuri karena hidup itu terus berputar seperti roda tidak selamanya senang dan tidak selamanya juga susah. Kita harus bersyukur akan keadaan kita sekarang yang bisa dibilang hidup berkecukupan tanpa kekurangan apa-apa. Pak Sigun juga berkata bahwa ia tidak memerlukan harta yang berlimpah yang bisa membuatnya bahagia bukanlah harta tetapi apabila ia bisa menghidupi keluarganya, bisa memberi makan keluarganya dan menyenangkan keluarganya. Dalam keadaan yang sekarang ini sudah jarang ada orang yang berpikir harta bukan segalanya, semua orang ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Hal ini jugalah yang menurut saya sesuatu yang paling utama dalam kehidupan saya. Saya sadar bahwa kerja kerja sangatlah dibutuhkan, usaha yang pantang menyerah dan putus asa juga penting.Semua tidak akan bisa dapat tanpa semua hal itu selain doa dan kesabaran. Selain itu hal lain yang bisa saya ambil adalah semangatnya uuntuk terus bekerja tanpa kenal lelah.Baginya keluarga adalah nomor satu. Mendengar semua ceritanya saya merasa malu karena ternyata masih banyak orang yang kekurangan tetapi mau bekerja keras sedangkan saya yang tugasnya hanya belajar saja tidak mau bekerja keras seperti mereka. Wawancara dengan Pak Sigun sungguh membuka mat$a saya mengenai kehidupan yang belum saya ketahui dengan jelas.

penjual keripik singkong



Lidya Krisnawati Sijabat

X3 / 16




Kehidupan Seorang Penjual Keripik Singkong



Bapak Sapron, itulah namanya. Ia adalah seorang penjual keripik singkong yang berjualan di depan Pastori ( rumah pendeta ) gereja saya. Ia berjualan dengan menggunakan sebuah gerobak yang memang sudah diletakkan secara permanent di sana. Jadi ia hanya membawa bahan-bahan untuk berjualan sa, seperti minyak tanah, minyak goreng, singkong, dan juga bumbu-bumbu yang diperlukan.
Ia harus berjualan dari pukul 14.00 hingga pukul 23.00, untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari seorang istri, anak dan mertua. Ia adalah satu-satunya penopang keluarga, istrinya sudah mencoba untuk membantu mencari nafkah namun tidak ada pekerjaan yang ia dapat. Walaupun sedang sakit, ia harus tetap berjualan. Penghasilan yang ia dapat tidak tetap dari hari-hari namun ia harus tetap membayar biaya sewa tempat dengan harga yang sama.
Dalam hidupnya ia memiliki prinsip dalam hidup ini tidak ada orang yang hidup dengan berlebihan walaupun ia orang kaya sekalipun. Karena yang tahu hidup kita berkecukupan atau tidak hanyalah diri kita sendiri dan yang bisa mengatur pengeluaran lita hanyalah kita sendiri. Karena itu selama ini sia selalu mengatur pengeluaran keluarganya dengan baik.



Refleksi Religiositas


Pada hari kamis kemarin, saya mewawancarai seorang bapak-bapak yang bekerja sebagai penjual keripik singkong. Ia bernama Bapak Sapron, yang tinggal bersama anak dan istri. Ia harus bekjualan dari siang hingga malam hanya untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Ia pun harus menghidupi mertuanya, yang tinggal satu rumah dengannya. Ia berkata bahwa walaupun sakit iapun harus tetap bekerja, karena ia adalah satu-satunya penopang keluarga. Dari hasil kerja kerasnya itu, kebutuhan sehari-harinya selama ini bisa terpenuhi. Namun ia berkata bahwa hidup tiap manusia itu tidaklah pernah cukup, semua kembali kepada orang itu sendiri bagaimana cara ia mengatur hidupnya.

Setelah saya mewawancarainya, barulah saya tahu bahwa mencari uang untuk menghidupi keluarga itu tidaklah mudah. Selama ini saya hanya meminta, meminta, dan meminta terus pada orangtua. Saya tidak pernah memikirkan bagaimana caranya orang tua saya mencari nafkah yang penting kebutuhan saya tercukupi. Jika tidak terpenuhi saya akan ngambek atau melakukan hal-hal aneh.

Saya tidak sadar bahwa di luar sana banyak orang yang hidup kekurangan ataupun sekedar berkecukupan. Banyak orang yang harus menderita dalam mencari nafkah. bahkan anak kecilpun ada yang harus bekerja untuk mencari biaya sekolah. Mereka mengamen, menjual Koran, menyemir sepatu,
bahkan sampai ada yang harus mencuri karena merasa itu adalah pekerjaan yang mudah dan menghasilkan uang paling banyak.

Saya sebagai anak yang hidupnya sudah terkecukupi semua, selama ini tidak pernah memikirkan orang lain, tidak pernah perduli bagaimana orang lain hidup, tidak pernah perduli bagaimana sulitnya bekerja, dan tidak pernah perduli bagaimana orangtua saya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Saya jadi merasa bersalah pada orangtua saya, karena selama ini saya telah menghambur-hamburkan hasil jerih payah orangtua saya. Saya sangat boros, bahkan saya tidak pernah menbantu mereka walaupun Cuma membereskan rumah. Saya jadi merasa sedih setelah mewawancarai bapak-bapak tersebut. Bisa dibilang berarti saya adalah anak yang tidak tahu diuntung, anak yang durhaka, dll.

Mulai sekarang, saya akan berusaha untuk lebih manghargai hasil jerih payah orang lain, kerja keras orangtua, dan juga menghargai orang-orang di sekitar saya. Saya juga akan berusaha untuk lebih membantu orangtua dalam ruang lingkup yang saya masih mampu untuk lakukan.

Terima kasih Bu Cecil, karena dengan adanya wawancara ini, saya jadi lebih bisa memaknai arti sebuah kerja keras, dan pengorban yang sudah dilakukan oleh orang lain dalam memenuhi kehidupannya.
Bu, yang refleksi religiositas judul : "Kepuasaan adalah kunci menikmati hidup" dibuat oleh Korona x3/13 dan Marsha x3/22. Terima kasih.

GREATFULL...GREATFULL...BY:PAULA ANGELIAX3-25

BERSYUKURLAH


Di suatu siang yang panas, saya dan teman sekelompok sangat bingung untuk mencari sasaran dari tugas wawancara kita. Sampai suatu ketika saya melihat seorang Bapak tua yang sedang duduk di atas tanah yang berumput. Langsung saja saya menghampirinya dan meminta izin untuk wawancara kepadanya. Bapak itu tampak lelah dan lesu.

Ternyata namanya adalah Bapak Agus. Awalnya kami melihat bahwa Bapak itu tidak memiliki semangat hidup. Tetapi ketika kami mewawancarainya ia terlihat bersemangat. Dari sana kami melihat bahwa Bapak Agus dapat mengatasi kesulitan dalam hidupnya. Meskipun banyak sekali hambatan yang menghadang misalnya begitu banyaknya saingan (pedagang-pedagang lain),tetapi ia tidak putus asa. Ia tetap bersemangat untuk bekerja. Meskipun diterpa panasnya terik matahari maupun hujan.
Dan yang membuat saya salut. Ditengah kesibukannya melayani pelanggan, ia berhenti sejenak dan shalat di suatu tempat dan tugasnyapun digantikan oleh istrinya.

Begitu banyak orang yang mendambakan kehidupan yang kaya raya. Orangtua saya memiliki materi yang cukup banyak dan rumah yang besar. Namun saya melaluinya begitu saja, tidak ada ucapan syukur kepada Tuhan atas semua berkah itu, tidak ada syukur untuk kehidupan, dan tidak ada syukur untuk orangtua yang sampai sekarang masih hidup dan dapat bekerja membanting tulang. Mulai sekarang saya akan bersyukur kepada Tuhan atas apa saja yang saya lalui pada hari ini.
Perjuangan gigih Bapak Agus membuat saya amat salut melihatnya. Bayangkan, bekerja 12 jam di bawah terik matahari, penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan hidup ia sendiri setiap harinya. Belum lagi menghadapi saingan-saingan yang mungkin menjual produk yang lebih menggiurkan. Namun ia tetap bekerja dan terus berusaha sekuat tenaga untuk mencukupi kebutuhan hidup sekeluarga dan yang pasti untuk pendidikan anak-anaknya. Dan lihat..Bapak Agus dapat hidup sampai sekarang karena ia terus bekerja setiap hari tanpa henti. Berdoa dengan Tuhan agar terus pasrah kepadaNya, bukan menghindar dari kenyataan dan melarikan diri dengan ilmu hitam.

Bagaimana dengan saya? Saya sangat gampang untuk putus asa tetapi setelah itu saya bangkit lagi dan sebisa mungkin memperbaiki kesalahan saya. Mungkin kegagalan yang saya hadapi terasa amat “kecil” bila dibandingkan dengan masalah dalam hidup Bapak Agus.
Saya terkadang suka merendahkan kaum miskin. Mungkin hanya sekedar menganggap mereka remeh. Namun saya sadar, mungkin mereka lebih “hebat” dari kita. Mental mereka lebih kuat untuk menghadapi cerca’an dan anggapan seperti itu, sehingga mereka tidak mudah putus asa. Saya teramat kasihan kepada mereka, sebisa mungkin setiap ada pengemis saya memberi “sedikit” dari uang saya dan ketika ada aksi sumbangan untuk korban bencana alam atau yang lainnya saya juga menolong dengan memberi sesuai yang dibutuhkan.

Saya amat tidak setuju dengan perendahan kaum miskin, apalagi kalau sampai melakukan kekerasan dan melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Kemanakah larinya ajaran dari agama yang dianut pelaku? Orang miskin maupun kaya, tetaplah sama dihadapan Tuhan dan tidak ada yang “dianaktirikan”. Kitapun harus melayani semua sesama kita baik miskin ataupun kaya, karena kita satu saudara.
Dengan refleksi ini, ternyata saya menyadari begitu banyak kesalahan saya dalam menanggapi berkah Tuhan, dalam menghadapi kesulitan hidup, anggapan yang salah terhadap kaum miskin dan lain-lain. Intinya saya akan menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi, Amin...

WAWANCARA by:Paula Angelia-x3-25 dan Rani x3-32

Tugas Wawancara





Paula dan Rani :Siapakah nama Bapak?

Bapak Agus :Agus..


Paula dan Rani :Apakah sudah memiliki anak dan bagaimanakah pendidikannya?


Bapak Agus :Punya anak dua yang terakhir SMA, ya alhamdulilah bisa ke perguruan tinggi

Paula dan Rani :Apa sajakah yang Bapak perdagangkan?


Bapak Agus :Minuman kopi

Paula dan Rani :Berapakah penghasilan Bapak per hari?


Bapak Agus :Tidak tentu kadang-kadang lima puluh ribu atau tiga puluh ribu...

Paula dan Rani :Hari apakah biasanya pelanggannya banyak?


Bapak Agus :Hari Minggu..
Kalau ada acara, pelanggannya ramai, kalau tidak ada acara, cari duit dua puluh ribu saja susah...

Paula dan Rani :Apakah tanggapan Bapak terhadap orang di Jakarta?


Bapak Agus :Kalau ketemu saya sih orangnya ramah –ramah

Paula dan Rani :Apakah Bapak penjual yang berkeliling ataukah menetap?

Bapak Agus :Menetap di Senayan aja dan tidak pernah jualan di tempat-tempat yang lain


Paula dan Rani :Apakah tidak ingin berjualan yang lain agar pendapatan semakin banyak?

Bapak Agus :Pengen sih,,,cuma tidak ada modal..

Paula dan Rani :Apakah ada hal-hal yang unik selama berjualan?


Bapak Agus :Tidak ada..

Paula dan Rani :Apakah harapan Bapak untuk pemerintah?


Bapak Agus :Bisa menyekolahkan anak dan tanggungan hidup

Paula dan Rani :Berangkat jam berapa?


Bapak Agus :Pagi-pagi jam setengah enam..


Paula dan Rani :Apakah menguatkan Bapak untuk terus bekerja dengan gigih seperti ini dan apakah Ibu pernah putus asa?


Bapak Agus :Saya terus shalat 5 waktu dan memohon kepada Allah biar diberi kekuatan dan jalan..kalau putus asa, pastinya pernah,,Cuma alhamdulilah sampai sekarang saya bisa mengatasinya..