Friday, April 25, 2008

Kemiskinan, Suatu Realita Kehidupan

Kemiskinan memang sudah lama ada di dunia ini. Kemiskinan juga sudah lama menjadi masalah besar bagi negara ini. Masalah yang rasanya semakin mustahil untuk diberantas secara total. Dilihat dari perjalanan waktu, bukannya kita menuju titik terang untuk mengatasi masalah ini, justru semakin hari kemiskinan semakin mengakar ke generasi-generasi mendatang. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan seorang yang dikategorikan miskin, saya bersama teman saya, Paula mewawancarai Bapak Agus. Bapak Agus adalah seorang penjual jajanan di Senayan. Sepanjang hari ia duduk di rerumputan tanpa alas menjaga barang dagangannya dan menunggu pembeli yang datang. Tidak dapat dibayangkan bagaimana ia bertaruh pada cuaca. Jika cerah, tubuhnya akan sepanjang hari terbakar oleh sengatan matahari, dan jika hujan turun mungkin ia akan kebingungan mencari tempat yang aman untuk melindungi barang dagangannya. Pada akhir wawancara, saya dan Paula sebagai tanda terima kasih membeli barang dagangannya. Saat kami mengatakan mau membeli beberapa bungkus kopi instant, terlihat sekali wajahnya menjadi cerah dan dengan semangat melayani kami, walaupun kami tidak membeli dalam jumlah yang banyak.

Setiap kali saya berkaca pada kehidupan orang-orang seperti Bapak Agus, yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah sudahkah saya bersyukur untuk hidup saya sendiri. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang selalu merasa tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Saya pun sebagai manusia juga memiliki sifat itu. Setiap kali saya memandang orang yang saya anggap ‘lebih’, dalam hati saya akan berteriak kepada Tuhan mengapa ia tidak memberikan juga sesuatu yang ‘lebih’ itu kepada saya. Namun jika saya memandang ke bawah, bukannya saya akan merasa berkekurangan, tetapi justru saya merasa sangat berkelimpahan. Sebagai contoh, Bapak Agus hanya untuk menyambung nyawa dari hari ke hari saja harus berjuang dengan keras, sedangkan saya sering tidak menghargai pemberian orangtua. Karena saya memiliki sifat ceroboh, saya tidak menyimpan dan merawat dengan baik pemberian itu dan bila dibutuhkan lagi akhirnya saya hanya bisa meminta orangtua saya membelikan barang itu lagi. Setelah tahu perjuangan Bapak Agus, saya menjadi sadar bahwa kebiasaan saya itu sama saja seperti menyobek-nyobek uang. Saya juga menjadi sadar ternyata selama ini saya tidak peka akan keadaan orang-orang miskin di luar sana.

Melihat orang-orang miskin yang ada di negeri ini, saya seperti melihat korban-korban ketidakadilan akibat perbuatan beberapa pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti melakukan praktek korupsi yang semakin menggila saja dari hari ke hari. Aset negara yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat miskin, justru jatuh ke tangan orang-orang yang serakah. Hal semacam ini yang membuat masalah kemiskinan semakin sulit untuk diberantas dan bahkan menjadikan masalah ini menjadi semakin kompleks. Percuma saja banyak orang berpindidikan di Indonesia, tetapi tidak pernah mau mendengarkan hati nuraninya. Bukannya menyelamatkan negara malah justru semakin menjerumuskan negara. Saya pikir banyak orang di zaman sekarang yang harus belajar kembali untuk mendengarkan hati nuraninya.

Saya berharap semoga saja di masa mendatang kualitas hidup orang-orang seperti Bapak Agus menjadi semakin baik dan hidupnya semakin terjamin. Terakhir, saya berpesan janganlah memandang rendah mereka. Karena melakukan hal demikian sama saja memperlihatkan diri kita lebih miskin dari mereka. Memang bukan miskin secara harta, tetapi miskin hati.

Rani
X3 / 32

No comments: