Friday, April 25, 2008

"Saudara saya pegang pulpen, Saya malah dorong gerobak"






T : selamat siang pak. Boleh kami minta waktunya sebentar untuk wawancara?
J : boleh neng. Untuk tugas sekolah ya?
T : iya pak. Oiya, nama bapak siapa ya? Umur bapak berapa?
J : saya Pak Sirin. Umur saya 42 tahun.
T : Bapak sudah bekerja berapa lama sebagai tukang ketoprak?
J : sudah 28 tahun neng.
T : wah sudah lama sekali ya pak. Kalau boleh tahu, berapa penghasilan bapak dalam 1 hari? Kira-kira mencukupi gak untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk anak-anak dan istri bapak?
J : dalam 1 hari bisa dapat 30-40 piring. Ya.. cukup ga cukup juga ya. Masalahnya kadang-kadang sepi juga sih. Anak dan istri saya tinggalnya di kampung.
T : oh gitu ya pak. Bapak tinggal dimana ya? Jadi tiap bulan bapak balik ke kampung ya?
J : kalau saya tinggal di Pulogadung sama adik saya. Saya pulangnya 2 bulan sekali. Kadang-kadang juga transfer duit buat anak istri di kampung.
T : bapak ada keinginan gak untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang atau ada keinginan gak untuk balik lagi tinggal di kampung?
J : kalau keinginan sih pastinya ada. Kalau saudara-saudara saya sekarang megang pulpen, saya malah dorong gerobak. Ada rasa nyesel juga. Dulu saya kabur sama adik saya dari kampung dan gak kepikiran jadi tukang ketoprak. Kalau keinginan ke kampung sih pengen ya neng. Pengen juga buka usaha di kampung, tapi keadaannya sekarang lagi susah jadi ya susah neng.
T : moga-moga bisa tercapai ya pak. Bagaimana kehidupan sehari-hari bapak selain jualan ketoprak?
J : setiap hari saya jualan ketoprak saja. Tiap hari saya bangun jam 5 pagi untuk menyiapkan dagangan saya.
T : terus sekarang bagaimana perasaan bapak dengan hidup bapak yang sekarang?
J : senang gak senang ya neng. Kadang-kadang nyesel juga dulu kabur dari kampung tapi ya gak apa-apa lah neng.
T : oh gitu ya pak. Kalau begitu terima kasih ya pak atas waktunya.
J : iya neng sama-sama









Anasthasia Amelia
X3-01


Kemiskinan. Itulah sebuah kata yang sedang melanda negara kita, Indonesia. Bukannya kemiskinan berkurang, tapi malah semakin banyak orang yang miskin. Mereka yang jadi korban kemiskinan pastilah tidak menginginkan keadaan itu. Keadaanlah yang memaksa mereka menjadi seperti itu.

Salah satu korban kemiskinan tersebut adalah Pak Sirin, si penjual ketoprak keliling. Menjadi seorang penjual ketoprak bukanlah keinginannya. Ia ingin menjadi seorang yang sukses. Tapi, keadaan ekonomi yang kritis tidak menghendakinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebagai orang yang termasuk kalangan menengah ke bawah, Pak Sirin tidak putus asa. Ia mau berjuang demi kehidupannya sendiri serta keluarganya. Bekerja dari pagi hingga sore, dengan penghasilan yang tidak terlalu banyak, ia berusaha memenuhi kebutuhannya. Statusnya sebagai orang yang kekurangan tidak membuatnya menjadi rendah diri, melainkan membuatnya memiliki semangat untuk berjuang demi hidup yang dianugerahi oleh Tuhan.

Namun, di antara kaum miskin tersebut, banyak juga yang tidak mau berjuang dan berusaha. Mereka hanya mau meminta-minta dari orang lain. Itulah para pengemis. Itu juga yang terkadang membuat saya kesal melihatnya. Padahal, kalau dilihat-lihat, tubuh mereka sehat dan kuat. Dari keadaan fisiknya saja sudah terlihat kalau sebenarnya dia bisa membuka usaha kecil-kecilan. Saya lebih menghargai mereka yang miskin tapi punya usaha, sekecil apapun usahanya. Dengan melihat keadaan dan perjuangan Pak Sirin, saya pun bersyukur kepada Tuhan karena berkat-Nya sehingga saya dapat hidup berkecukupan. Walaupun hidup tidak berkekurangan, tetap tidak boleh malas-malasan. Lihatlah kembali mereka yang berjuang keras demi sesuap nasi. Oleh karena itu, saya pun harus berjuang dalam menghadapi hidup ini. Dengan hidup yang cukup ini, bukan berarti saya tidak perlu peduli kepada mereka kaum miskin. Justru karena hidup yang cukup itulah saya harus peduli kepada mereka. Para kaum miskin sering juga mengalami perendahan martabatnya sebagai manusia. Mereka sering diperlakukan tidak adil dan dianggap remeh oleh orang lain. Padahal, mereka juga manusia, sama seperti kita yang mempunyai martabat dan derajat yang sama.












Anatashya Winda Sutanto
X3/2


Setelah melakukan wawancara dengan Pak Sirin, saya merasa bahwa sebenarnya kita harus bersyukur dengan hidup yang kita miliki sekarang. Dari sosok Pak Sirin, menurut saya ia mengajarkan tentang bagaimana meraih apa yang kita inginkan dan seperti apa kehidupan di luar lingkungan saya. Misalnya saja, Pak Sirin berani kabur ke Jakarta pasti karena ingin menjadi orang yang sukses. Walaupun akhirnya hanya menjadi tukang ketoprak keliling, ia sangat mensyukuri apapun yang ia dapatkan sekarang. Ketika mewawancarai pak Sirin pun, ia sangat menghargai kami. Saya sendiri juga menjadi menghargai Pak Sirin walaupun ia hanya penjual ketoprak. Selain itu Pak Sirin juga akrab dengan murid-murid sekolah yang menjadi langganannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pak Sirin orang yang mudah bergaul dan tidak rendah diri. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada lagi yang namanya diskriminasi terhadap kaum miskin karena mereka juga manusia yang kedudukannya sama di mata Tuhan.











Astrid Maria
X3 - 05



Jujur saja, selama ini saya pernah beberapa kali merasa miskin. Yaah, berhubung HP saya tidak sebagus teman-teman lainnya. Tapi ketika kami mewawancarai Pak Sirin, saya pun mulai terpikir hal lain. Saya memang miskin, tapi miskin cita-cita! Pak Sirin adalah orang yang punya cita-cita tinggi. Walaupun ia berasal dari kampung, tapi ia punya cita-cita tinggi untuk hidup sukses di Jakarta. Berbeda dengan saya yang sampai saat ini masih juga belum memikirkan masa depan, mau jadi apa nanti, mau kerja jadi apa.




Walaupun mungkin cara beliau untuk mengejar cita-cita salah, yaitu kabur dari rumah. Tapi itu semua saya rasa juga disebabkan oleh satu hal, yaitu kemiskinan. Pak Sirin yang berasal dari keluarga yang berkekurangan di kampung, tentu tidak memiliki biaya yang cukup (miskin materi) untuk memperoleh pendidikan yang baik dan mendapatkan pekerjaan yang layak.




Hmm..miskin cita-cita sudah, miskin materi sudah, miskin apa lagi? Oh iya, miskin semangat! Saya senang sekali melihat orang seperti Pak Sirin, yang walaupun miskin secara materi dan pendidikan namun semangatnya untuk bertahan hidup dan memperoleh hidup yang berkecukupan bagi keluarganya sangatlah besar. Tidak seperti banyak orang lain yang jelas-jelas kelihatan sehat dan kuat tapi malas untuk mencari pekerjaan. Mereka malah mencari jalan pintas untuk mencari uang dengan cara mudah, mengemis, meminta-minta. Bahkan banyak yang malah memperkerjakan anak-anak kecil untuk meminta-minta, lalu mereka tinggal menerima hasil.




Setelah kita berputar-putar dengan berbagai macam kemiskinan, mulai dari miskin cita-cita, miskin materi, miskin pendidikan, sampai miskin semangat. Saya pun akhirnya menyimpulkan bahwa memang negara Indonesia kita ini berada di bawah garis kemiskinan, tepatnya kemiskinan dari segala segi : materi dan mental. Namun yang paling memprihatinkan adalah apabila masyarakat kita mulai miskin cinta. Karena hanya dengan cintalah kita dapat saling berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Hanya dengan cinta kita dapat bersyukur kepada Tuhan atas segala karunia yang telah Dia berikan pada kita yang telah berkecukupan dari segi materi.




Apakah saya miskin cinta? Saya rasa belum. Karena saya masih ingin mencoba menghargai dan bersyukur atas segala yang telah saya punyai : keluarga, teman, rumah, sekolah dan TUHAN. Saya masih ingin mencoba untuk lebih peduli dan mencintai orang-orang yang saat ini kondisi secara materinya lebih rendah daripada saya, misalnya pembantu dan supir.




Jadi, miskinkah saya? miskinkah anda? miskinkah mereka? Jawabannya adalah MISKIN kalau saya, anda, dan mereka MISKIN CINTA.
Marilah kita bejuang menjadi orang yang kaya, KAYA AKAN CINTA!

No comments: