Setiap pagi rasanya Pak Nali hanya duduk-duduk saja di depan rumah saya. Sambil termenung ditutupi tumpukan sandal jualannya itu, rasanya hidup baginya tidak ada tuntutan, tidak ada beban, walaupun penghasilan hanya kurang lebih Rp 30.000,00 seharinya. Walaupun sering berjualan di Jakarta, terutama Jakarta Selatan (di daerah Bintaro, Pondok Indah, dan sekitarnya) sebenarnya pak Nali ini tinggal di Bogor, di Desa Kalong.
"Iya, di Desa situ," katanya sambil menunjuk-nunjuk ke belakang, "di Desa Kalong, di deket situ lho."
Keluarganya yang terdiri dari tiga orang anak dan seorang istri juga tinggal di Bogor. Sepasang suami istri ini memiliki tiga anak tercinta, dua laki-laki dan satu perempuan. Yang paling tua perempuan, masih berumur sembilan tahun. Tiga tahun setelah anak tertuanya lahir, mereka dikaruniai lagi dua anak laki-laki, yang sekarang berumur 6 tahun dan yang paling kecil masih berumur dua tahun. Penghasilan yang didapat dari tiga pasang sandal setiap harinya saya pikir tidak akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tetapi rupanya ketika ditanya tentang pendidikan anak-anaknya, Pak Nali menjawab,"Iya, anak-anak saya sekarang sudah saya sekolahkan kok," katanya bangga.
Setiap pagi Pak Nali berangkat dari rumahnya yang ada di Bogor itu, menelusuri jalan-jalan sambil membawa pikulan yang terbuat dari bambu sederhana dan berpuluh-puluh sandal setiap harinya. Sampai di daerah 'tongkrongannya' Pak Nali istirahat sebentar. Pria berumur 35 tahun itu rupanya sudah melakukan kegiatan berjualan itu selama bertahun-tahun.
"Alhamdulilah semuanya sampai sekarang masih bisa ditangani," komentarnya tentang pekerjaannya itu.
"Tapi dengan penghasilan begitu..?" Saya benar-benar bingung, sepertinya kehidupan tidak bisa hanya ditopang uang segitu setiap harinya.
"Ya cukup nggak cukuplah..." kata Pak Nali sambil garuk-garuk kepala.
Saya dan Pak NaliPak Nali rupanya rajin menabung. Walaupun penghasilan untuk keluarganya hanya bersumber dari Pak Nali sendiri, dengan usaha hidup sederhana dan serba 'alhamdulilah', keluarga Pak Nali bisa terus hidup berkecukupan. Kadang-kadang kalau penghasilan lebih dari Rp 50.000,00, yang Rp 20.000,00 lagi ditabung., selain untuk sekolah juga untuk keperluan yang lain-lain, "Siapa tahu. Kan juga nggak ada salahnya menabung, apalagi kalau seperti saya begini."
Pak Nali dulunya mengenyam pendidikan yang cukup pula.
"Saya sih cuma ikut sekolah madrasah itu lho," jawabnya ketika ditanya tentang pendidikannya. Jujur saja saya nggak enak untuk bertanya lebih lanjut. Ketika beralih ke topik cita-cita, Pak Nali langsung buang muka.
"Ahhh, nggak ada itu mah," katanya, malu-malu.
"Yah nggak mungkin Pak. Saya aja pengen jadi pelukis," saya bilang ke Pak Nali, berusaha untuk meraba-raba perasaannya.
"Lah tapi saya nggak punya kelebihan apapun. Nggak ada bakatnye," kata Pak Nali sambil garuk-garuk kepala lagi.
"Ya sama dong Pak, sini juga ga ada bakat jadi pelukis. Cuma pengen-pengen aja..." saya bilang sambil merendahkan diri.
Sandal sederhana Pak NaliSepertinya tidak mungkin, Pak Nali yang sekarang berjualan sandal setiap harinya itu dari dulu tidak memiliki cita-cita. Ketika ditanyai lagi, jawabannya ngalor-ngidul kemana-mana, lalu malah terdiam. Saya akhirnya ikutan diam, bingung mau bertanya apa. Akhirnya saya membeli sandal hitam yang dijual Pak nali, hanya Rp 10.000,00 satu pasangnya. Sambil pilih-pilih ukuran kaki yang pas, kami ngobrol sebentar tentang sandal sederhana jualannya itu. Katanya, teman Pak Nali pembuat sandal, penghasilannya berjualan nanti dibagi dua.
Lalu saya akhiri wawancara kali itu dengan teh manis buatan rumah. Mbak yang ikut menemani saya wawancara (walaupun hanya di depan rumah) mengambil foto kami berdua. Rasanya wawancara itu masih bisa digali lagi.Walaupun penuh rasa enggan dan bingung, saya pun mengucapkan terima kasih dan masuk ke rumah, membiarkan Pak Nali menikmati istirahat siang itu dengan teh hangat yang manis.
Tidak bisa dibayangkan saya harus hidup setiap hari dengan batas nominal uang yang jumlah belakangnya sebatas puluhan ribu. Boro-boro puluhan, ratusan saja rasanya masih kurang. Ke sekolah yang jaraknya berkilo-kilometer jauhnya memerlukan bensin. Makan juga kalau tidak sesuai selera suka terpaksa, alhasil makanan suka terbuang sia-sia. Bertemu dengan Pak Nali membuat saya sadar, bahwa kehidupan saya sehari-harinya yang penuh keborosan ini tidak pantas untuk orang seperti saya, yang hidupnya sudah serba terpenuhi dengan usaha seminimal mungkin.
Kemiskinan, seperti yang banyak orang bilang, salah orang itu sendiri. “Yah mungkin memang tidak mau bekerja, orangnya pemalas”. Saya tidak setuju. Saya yakin, orang seperti Pak Nali kalau memang pembelinya ada di Jakarta ia rela pergi ke Jakarta setiap harinya untuk berjualan. Beralaskan sandal, berbekal harapan dan determinasi.
Menurut saya, orang seperti Pak Nali menjadi miskin karena adanya orang kaya yang pelit, tidak mau berbagi, tidak mau tahu. Selain faktor keturunan dan faktor keterbatasan internal lainnya, sebenarnya jika dilihat-lihat lagi, faktor penyebab utama adalah kurangnya rasa peduli. Bila saja rasa kepedulian terhadap sesama itu dijalin sejak dini. Juga hilangkan rasa eksklusif, yang merasa dirinya ‘tidak level’ bergaul dengan anak-anak yang keadaan ekonominya tidak sepantaran dengannya.
Nilai-nilai yang didapat banyak, walaupun hanya beberapa menit wawancaranya. Yang paling berkesan adalah pikiran ini ketika selesai mewawancara Pak Nali: Orang seperti Pak Nali saja mau terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak, walaupun kehidupannya pas-pasan. Saya seharusnya dengan berkat yang melimpah ini bersyukur untuk setiap karunia yang Tuhan telah beri dengan gratis. Saya belajar bahwa hidup itu harus dihargai apa adanya. Apapun bentuknya itu kita harus bersyukur dan menjalani kehidupan kita sebaik mungkin, penuh usaha, harapan, dan rasa percaya.
Selain itu, saya juga belajar untuk selalu hidup sederhana, serba apa-adanya. Hidup berfoya-foya sama saja seperti merendahkan usaha hidup orang seperti Pak Nali. Selain itu, kita juga harus peduli terhadap sesama yang masih kekurangan. Saya sendiri juga telah ikut program-program sosial memberantas kemiskinan, baik di dalam maupun di luar sekolah. Dan yang paling penting lagi berdoa, selain bersyukur, juga mendoakan korban-korban kemiskinan.
"Iya, di Desa situ," katanya sambil menunjuk-nunjuk ke belakang, "di Desa Kalong, di deket situ lho."
Keluarganya yang terdiri dari tiga orang anak dan seorang istri juga tinggal di Bogor. Sepasang suami istri ini memiliki tiga anak tercinta, dua laki-laki dan satu perempuan. Yang paling tua perempuan, masih berumur sembilan tahun. Tiga tahun setelah anak tertuanya lahir, mereka dikaruniai lagi dua anak laki-laki, yang sekarang berumur 6 tahun dan yang paling kecil masih berumur dua tahun. Penghasilan yang didapat dari tiga pasang sandal setiap harinya saya pikir tidak akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tetapi rupanya ketika ditanya tentang pendidikan anak-anaknya, Pak Nali menjawab,"Iya, anak-anak saya sekarang sudah saya sekolahkan kok," katanya bangga.
Setiap pagi Pak Nali berangkat dari rumahnya yang ada di Bogor itu, menelusuri jalan-jalan sambil membawa pikulan yang terbuat dari bambu sederhana dan berpuluh-puluh sandal setiap harinya. Sampai di daerah 'tongkrongannya' Pak Nali istirahat sebentar. Pria berumur 35 tahun itu rupanya sudah melakukan kegiatan berjualan itu selama bertahun-tahun.
"Alhamdulilah semuanya sampai sekarang masih bisa ditangani," komentarnya tentang pekerjaannya itu.
"Tapi dengan penghasilan begitu..?" Saya benar-benar bingung, sepertinya kehidupan tidak bisa hanya ditopang uang segitu setiap harinya.
"Ya cukup nggak cukuplah..." kata Pak Nali sambil garuk-garuk kepala.
Saya dan Pak NaliPak Nali rupanya rajin menabung. Walaupun penghasilan untuk keluarganya hanya bersumber dari Pak Nali sendiri, dengan usaha hidup sederhana dan serba 'alhamdulilah', keluarga Pak Nali bisa terus hidup berkecukupan. Kadang-kadang kalau penghasilan lebih dari Rp 50.000,00, yang Rp 20.000,00 lagi ditabung., selain untuk sekolah juga untuk keperluan yang lain-lain, "Siapa tahu. Kan juga nggak ada salahnya menabung, apalagi kalau seperti saya begini."
Pak Nali dulunya mengenyam pendidikan yang cukup pula.
"Saya sih cuma ikut sekolah madrasah itu lho," jawabnya ketika ditanya tentang pendidikannya. Jujur saja saya nggak enak untuk bertanya lebih lanjut. Ketika beralih ke topik cita-cita, Pak Nali langsung buang muka.
"Ahhh, nggak ada itu mah," katanya, malu-malu.
"Yah nggak mungkin Pak. Saya aja pengen jadi pelukis," saya bilang ke Pak Nali, berusaha untuk meraba-raba perasaannya.
"Lah tapi saya nggak punya kelebihan apapun. Nggak ada bakatnye," kata Pak Nali sambil garuk-garuk kepala lagi.
"Ya sama dong Pak, sini juga ga ada bakat jadi pelukis. Cuma pengen-pengen aja..." saya bilang sambil merendahkan diri.
Sandal sederhana Pak NaliSepertinya tidak mungkin, Pak Nali yang sekarang berjualan sandal setiap harinya itu dari dulu tidak memiliki cita-cita. Ketika ditanyai lagi, jawabannya ngalor-ngidul kemana-mana, lalu malah terdiam. Saya akhirnya ikutan diam, bingung mau bertanya apa. Akhirnya saya membeli sandal hitam yang dijual Pak nali, hanya Rp 10.000,00 satu pasangnya. Sambil pilih-pilih ukuran kaki yang pas, kami ngobrol sebentar tentang sandal sederhana jualannya itu. Katanya, teman Pak Nali pembuat sandal, penghasilannya berjualan nanti dibagi dua.
Lalu saya akhiri wawancara kali itu dengan teh manis buatan rumah. Mbak yang ikut menemani saya wawancara (walaupun hanya di depan rumah) mengambil foto kami berdua. Rasanya wawancara itu masih bisa digali lagi.Walaupun penuh rasa enggan dan bingung, saya pun mengucapkan terima kasih dan masuk ke rumah, membiarkan Pak Nali menikmati istirahat siang itu dengan teh hangat yang manis.
Tidak bisa dibayangkan saya harus hidup setiap hari dengan batas nominal uang yang jumlah belakangnya sebatas puluhan ribu. Boro-boro puluhan, ratusan saja rasanya masih kurang. Ke sekolah yang jaraknya berkilo-kilometer jauhnya memerlukan bensin. Makan juga kalau tidak sesuai selera suka terpaksa, alhasil makanan suka terbuang sia-sia. Bertemu dengan Pak Nali membuat saya sadar, bahwa kehidupan saya sehari-harinya yang penuh keborosan ini tidak pantas untuk orang seperti saya, yang hidupnya sudah serba terpenuhi dengan usaha seminimal mungkin.
Kemiskinan, seperti yang banyak orang bilang, salah orang itu sendiri. “Yah mungkin memang tidak mau bekerja, orangnya pemalas”. Saya tidak setuju. Saya yakin, orang seperti Pak Nali kalau memang pembelinya ada di Jakarta ia rela pergi ke Jakarta setiap harinya untuk berjualan. Beralaskan sandal, berbekal harapan dan determinasi.
Menurut saya, orang seperti Pak Nali menjadi miskin karena adanya orang kaya yang pelit, tidak mau berbagi, tidak mau tahu. Selain faktor keturunan dan faktor keterbatasan internal lainnya, sebenarnya jika dilihat-lihat lagi, faktor penyebab utama adalah kurangnya rasa peduli. Bila saja rasa kepedulian terhadap sesama itu dijalin sejak dini. Juga hilangkan rasa eksklusif, yang merasa dirinya ‘tidak level’ bergaul dengan anak-anak yang keadaan ekonominya tidak sepantaran dengannya.
Nilai-nilai yang didapat banyak, walaupun hanya beberapa menit wawancaranya. Yang paling berkesan adalah pikiran ini ketika selesai mewawancara Pak Nali: Orang seperti Pak Nali saja mau terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak, walaupun kehidupannya pas-pasan. Saya seharusnya dengan berkat yang melimpah ini bersyukur untuk setiap karunia yang Tuhan telah beri dengan gratis. Saya belajar bahwa hidup itu harus dihargai apa adanya. Apapun bentuknya itu kita harus bersyukur dan menjalani kehidupan kita sebaik mungkin, penuh usaha, harapan, dan rasa percaya.
Selain itu, saya juga belajar untuk selalu hidup sederhana, serba apa-adanya. Hidup berfoya-foya sama saja seperti merendahkan usaha hidup orang seperti Pak Nali. Selain itu, kita juga harus peduli terhadap sesama yang masih kekurangan. Saya sendiri juga telah ikut program-program sosial memberantas kemiskinan, baik di dalam maupun di luar sekolah. Dan yang paling penting lagi berdoa, selain bersyukur, juga mendoakan korban-korban kemiskinan.
No comments:
Post a Comment