Friday, April 25, 2008

penjual keripik singkong



Lidya Krisnawati Sijabat

X3 / 16




Kehidupan Seorang Penjual Keripik Singkong



Bapak Sapron, itulah namanya. Ia adalah seorang penjual keripik singkong yang berjualan di depan Pastori ( rumah pendeta ) gereja saya. Ia berjualan dengan menggunakan sebuah gerobak yang memang sudah diletakkan secara permanent di sana. Jadi ia hanya membawa bahan-bahan untuk berjualan sa, seperti minyak tanah, minyak goreng, singkong, dan juga bumbu-bumbu yang diperlukan.
Ia harus berjualan dari pukul 14.00 hingga pukul 23.00, untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari seorang istri, anak dan mertua. Ia adalah satu-satunya penopang keluarga, istrinya sudah mencoba untuk membantu mencari nafkah namun tidak ada pekerjaan yang ia dapat. Walaupun sedang sakit, ia harus tetap berjualan. Penghasilan yang ia dapat tidak tetap dari hari-hari namun ia harus tetap membayar biaya sewa tempat dengan harga yang sama.
Dalam hidupnya ia memiliki prinsip dalam hidup ini tidak ada orang yang hidup dengan berlebihan walaupun ia orang kaya sekalipun. Karena yang tahu hidup kita berkecukupan atau tidak hanyalah diri kita sendiri dan yang bisa mengatur pengeluaran lita hanyalah kita sendiri. Karena itu selama ini sia selalu mengatur pengeluaran keluarganya dengan baik.



Refleksi Religiositas


Pada hari kamis kemarin, saya mewawancarai seorang bapak-bapak yang bekerja sebagai penjual keripik singkong. Ia bernama Bapak Sapron, yang tinggal bersama anak dan istri. Ia harus bekjualan dari siang hingga malam hanya untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Ia pun harus menghidupi mertuanya, yang tinggal satu rumah dengannya. Ia berkata bahwa walaupun sakit iapun harus tetap bekerja, karena ia adalah satu-satunya penopang keluarga. Dari hasil kerja kerasnya itu, kebutuhan sehari-harinya selama ini bisa terpenuhi. Namun ia berkata bahwa hidup tiap manusia itu tidaklah pernah cukup, semua kembali kepada orang itu sendiri bagaimana cara ia mengatur hidupnya.

Setelah saya mewawancarainya, barulah saya tahu bahwa mencari uang untuk menghidupi keluarga itu tidaklah mudah. Selama ini saya hanya meminta, meminta, dan meminta terus pada orangtua. Saya tidak pernah memikirkan bagaimana caranya orang tua saya mencari nafkah yang penting kebutuhan saya tercukupi. Jika tidak terpenuhi saya akan ngambek atau melakukan hal-hal aneh.

Saya tidak sadar bahwa di luar sana banyak orang yang hidup kekurangan ataupun sekedar berkecukupan. Banyak orang yang harus menderita dalam mencari nafkah. bahkan anak kecilpun ada yang harus bekerja untuk mencari biaya sekolah. Mereka mengamen, menjual Koran, menyemir sepatu,
bahkan sampai ada yang harus mencuri karena merasa itu adalah pekerjaan yang mudah dan menghasilkan uang paling banyak.

Saya sebagai anak yang hidupnya sudah terkecukupi semua, selama ini tidak pernah memikirkan orang lain, tidak pernah perduli bagaimana orang lain hidup, tidak pernah perduli bagaimana sulitnya bekerja, dan tidak pernah perduli bagaimana orangtua saya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Saya jadi merasa bersalah pada orangtua saya, karena selama ini saya telah menghambur-hamburkan hasil jerih payah orangtua saya. Saya sangat boros, bahkan saya tidak pernah menbantu mereka walaupun Cuma membereskan rumah. Saya jadi merasa sedih setelah mewawancarai bapak-bapak tersebut. Bisa dibilang berarti saya adalah anak yang tidak tahu diuntung, anak yang durhaka, dll.

Mulai sekarang, saya akan berusaha untuk lebih manghargai hasil jerih payah orang lain, kerja keras orangtua, dan juga menghargai orang-orang di sekitar saya. Saya juga akan berusaha untuk lebih membantu orangtua dalam ruang lingkup yang saya masih mampu untuk lakukan.

Terima kasih Bu Cecil, karena dengan adanya wawancara ini, saya jadi lebih bisa memaknai arti sebuah kerja keras, dan pengorban yang sudah dilakukan oleh orang lain dalam memenuhi kehidupannya.

No comments: