Thursday, April 24, 2008

REFLEKSI PAULA ANGELIA X3-25

Refleksi


Di suatu siang yang panas, saya dan teman sekelompok sangat bingung untuk mencari sasaran dari tugas wawancara kita. Sampai suatu ketika saya melihat seorang Bapak tua yang sedang duduk di atas tanah yang berumput. Langsung saja saya menghampirinya dan meminta izin untuk wawancara kepadanya. Bapak itu tampak lelah dan lesu.

Ternyata namanya adalah Bapak Agus. Awalnya kami melihat bahwa Bapak itu tidak memiliki semangat hidup. Tetapi ketika kami mewawancarainya ia terlihat bersemangat. Dari sana kami melihat bahwa Bapak Agus dapat mengatasi kesulitan dalam hidupnya. Meskipun banyak sekali hambatan yang menghadang misalnya begitu banyaknya saingan (pedagang-pedagang lain),tetapi ia tidak putus asa. Ia tetap bersemangat untuk bekerja. Meskipun diterpa panasnya terik matahari maupun hujan.
Dan yang membuat saya salut. Ditengah kesibukannya melayani pelanggan, ia berhenti sejenak dan shalat di suatu tempat dan tugasnyapun digantikan oleh istrinya.

Begitu banyak orang yang mendambakan kehidupan yang kaya raya. Orangtua saya memiliki materi yang cukup banyak dan rumah yang besar. Namun saya melaluinya begitu saja, tidak ada ucapan syukur kepada Tuhan atas semua berkah itu, tidak ada syukur untuk kehidupan, dan tidak ada syukur untuk orangtua yang sampai sekarang masih hidup dan dapat bekerja membanting tulang. Mulai sekarang saya akan bersyukur kepada Tuhan atas apa saja yang saya lalui pada hari ini.
Perjuangan gigih Bapak Agus membuat saya amat salut melihatnya. Bayangkan, bekerja 12 jam di bawah terik matahari, penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan hidup ia sendiri setiap harinya. Belum lagi menghadapi saingan-saingan yang mungkin menjual produk yang lebih menggiurkan. Namun ia tetap bekerja dan terus berusaha sekuat tenaga untuk mencukupi kebutuhan hidup sekeluarga dan yang pasti untuk pendidikan anak-anaknya. Dan lihat..Bapak Agus dapat hidup sampai sekarang karena ia terus bekerja setiap hari tanpa henti. Berdoa dengan Tuhan agar terus pasrah kepadaNya, bukan menghindar dari kenyataan dan melarikan diri dengan ilmu hitam.

Bagaimana dengan saya? Saya sangat gampang untuk putus asa tetapi setelah itu saya bangkit lagi dan sebisa mungkin memperbaiki kesalahan saya. Mungkin kegagalan yang saya hadapi terasa amat “kecil” bila dibandingkan dengan masalah dalam hidup Ibu Ningsih.
Saya terkadang suka merendahkan kaum miskin. Mungkin hanya sekedar menganggap mereka remeh. Namun saya sadar, mungkin mereka lebih “hebat” dari kita. Mental mereka lebih kuat untuk menghadapi cerca’an dan anggapan seperti itu, sehingga mereka tidak mudah putus asa. Saya teramat kasihan kepada mereka, sebisa mungkin setiap ada pengemis saya memberi “sedikit” dari uang saya dan ketika ada aksi sumbangan untuk korban bencana alam atau yang lainnya saya juga menolong dengan memberi sesuai yang dibutuhkan.
Saya amat tidak setuju dengan perendahan kaum miskin, apalagi kalau sampai melakukan kekerasan dan melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Kemanakah larinya ajaran dari agama yang dianut pelaku? Orang miskin maupun kaya, tetaplah sama dihadapan Tuhan dan tidak ada yang “dianaktirikan”. Kitapun harus melayani semua sesama kita baik miskin ataupun kaya, karena kita satu saudara.
Dengan refleksi ini, ternyata saya menyadari begitu banyak kesalahan saya dalam menanggapi berkah Tuhan, dalam menghadapi kesulitan hidup, anggapan yang salah terhadap kaum miskin dan lain-lain. Intinya saya akan menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi, Amin...

No comments: